Mengapa Desa-desa Tapanuli Miskin?
Itulah yang menjadi pertanyaan saya dengan seorang teman dari Dolok Sanggul ketika kuliah di Fisip USU dahulu. Walaupun teman saya ini tamatan STM mesin, dia sangat mahir dalam melakukan analisa sosilogis terhadap pertanyaan tersebut.
Teman saya tersebut, nampaknya telah lama memperhatikan mengapa banyak desa-desa di Tapanuli yang sangat tertinggal bahkan bisa disebut terbelakang. Dia menjawabnya sendiri dengan berbagai argumentsi yang sangat logis.
Saya akan mencoba menyimpulkannya.
1. Desa-desa di Tapanuli tersebar dari pusat kecamatan dengan jarak yang jauh sekali. Sehingga butuh tenaga ekstra penduduknya bila ingin memajuan desanya.
2. Kepadatan penduduk yag tidak merata dan sangat jarang. Bahkan faktor emigrasi (merantau) membuat jumlah penduduk menjadi statis. Sehingga banya orang berkesimpulan bahwa pembangunan desa tidak perlu karena toh yang tinggal cuma sedikit.
3. Desa-dsa di Tapanuli sering kali bahkan bisa dibilang selalu dipimpin oleh marga terbesar di desa tersebut yang biasanya keluarga dari pamukka huta yang menduduki kursi raja dalam adat. Sehingga, kucuran dana dari pusat dan provinsi hanya dianggap sebagai uang pribadi oleh raja yang menjadi kepala desa tersebut. Karena menurutnya sebagai pewaris tahta dia adalah pemilik desa. Jadi segala keuangan desa yang nota bene adalah uang negara dapat saja dianggapnya sendiri sebagai uag pribadi.
4. Tim dari kecamatan biasanya tidak akan berminat meluruskan penyimpangan di nomor 3 di atas, biasanya mereka malah ikut menikmatinya dengan melakukan pemotongan terlebih dahulu sebelum diambil oleh pihak desa.
5. Kaum intelektual desa biasanya tidak dapat berkutik karena mereka adalah 'parboru' atau yang menumpang tinggal di desa tersebut. Maka demi keamanan pribdi dan sosial, penyimpangan tersebut harus didiamkan.
6. Kalaupun ada intelektual yang semarga dan sabutuha dengan kepala desa, biasanya akan didiamkan saja oleh mereka, karena 'kue' tersebut juga akan dibagi-bagi. Tai tidak digunakan semestinya, misalnya, mengentaskan buta asksara, pembinaan warga atau pembangunan infrastruktur.
7. Ketermiskinan desa-desa di Tapanuli menjadi lebih parah ketika proses rekrutmen PNS untuk ditempatkan di desa-desa juga mengalami pembusukan. Pembusukan tersebut antara lain;
a. Sogok-menyogok, yang menyebabkan pegawai tersebut tidak melaksanakan tugasnya tapi lebih memilih berkonsentrasi untuk mengembalikan 'modal' sogokan yang sudah dikeluarkan.
b. Adanya anggapan bahwa mereka yang ditempatkan di desa-desa adalah pembuangan. Jadinya si pegawai tidak akan serius melaksanakan tugasnya kecuali berusaha mengumpulkan modal agar dapat menyogok atasan lagi untuk seceatnya 'dikeluarkan' dari desa.
c. Dll..
8. Hadirnya konglomerat-konglomerat Batak yang berusaha mengeksploitasi pedesaan dengan pembabatan hutan dan illegal logging dengan dukungan dan sertifiaksi tanah dari desa. Padahal tanahnya adalah tanah negara. Serhingga membuat desa-desa tersebut kekeringan dan sering kali mengalami bencana.
9. Jumlah penduduk desa-desa Tapanuli sangat sedikit dan tingkat ekonomi yang relatif rendah, sehingga suara dan penderitaan mereka tidak layak berita oleh koran-koran daerah apalagi nasional. Sehingga yang miskin tetap miskin yang menderita tetap menderita, kecuali keluarga tersebut mempunyai anak atau family yang pejabat atau 'alat negara'.
Well, aku tarik nafas terhadap teman saya itu. Sudah lima tahun kami berpisah dan tidak pernah ada kontak. Kemana gerangan kawan tersebut? kalau dia sudah jadi pejabat atau PNS, aku rasa dia akan membangun desanya, minimal di kampungnya Dolok Sanggul.
Teman saya tersebut, nampaknya telah lama memperhatikan mengapa banyak desa-desa di Tapanuli yang sangat tertinggal bahkan bisa disebut terbelakang. Dia menjawabnya sendiri dengan berbagai argumentsi yang sangat logis.
Saya akan mencoba menyimpulkannya.
1. Desa-desa di Tapanuli tersebar dari pusat kecamatan dengan jarak yang jauh sekali. Sehingga butuh tenaga ekstra penduduknya bila ingin memajuan desanya.
2. Kepadatan penduduk yag tidak merata dan sangat jarang. Bahkan faktor emigrasi (merantau) membuat jumlah penduduk menjadi statis. Sehingga banya orang berkesimpulan bahwa pembangunan desa tidak perlu karena toh yang tinggal cuma sedikit.
3. Desa-dsa di Tapanuli sering kali bahkan bisa dibilang selalu dipimpin oleh marga terbesar di desa tersebut yang biasanya keluarga dari pamukka huta yang menduduki kursi raja dalam adat. Sehingga, kucuran dana dari pusat dan provinsi hanya dianggap sebagai uang pribadi oleh raja yang menjadi kepala desa tersebut. Karena menurutnya sebagai pewaris tahta dia adalah pemilik desa. Jadi segala keuangan desa yang nota bene adalah uang negara dapat saja dianggapnya sendiri sebagai uag pribadi.
4. Tim dari kecamatan biasanya tidak akan berminat meluruskan penyimpangan di nomor 3 di atas, biasanya mereka malah ikut menikmatinya dengan melakukan pemotongan terlebih dahulu sebelum diambil oleh pihak desa.
5. Kaum intelektual desa biasanya tidak dapat berkutik karena mereka adalah 'parboru' atau yang menumpang tinggal di desa tersebut. Maka demi keamanan pribdi dan sosial, penyimpangan tersebut harus didiamkan.
6. Kalaupun ada intelektual yang semarga dan sabutuha dengan kepala desa, biasanya akan didiamkan saja oleh mereka, karena 'kue' tersebut juga akan dibagi-bagi. Tai tidak digunakan semestinya, misalnya, mengentaskan buta asksara, pembinaan warga atau pembangunan infrastruktur.
7. Ketermiskinan desa-desa di Tapanuli menjadi lebih parah ketika proses rekrutmen PNS untuk ditempatkan di desa-desa juga mengalami pembusukan. Pembusukan tersebut antara lain;
a. Sogok-menyogok, yang menyebabkan pegawai tersebut tidak melaksanakan tugasnya tapi lebih memilih berkonsentrasi untuk mengembalikan 'modal' sogokan yang sudah dikeluarkan.
b. Adanya anggapan bahwa mereka yang ditempatkan di desa-desa adalah pembuangan. Jadinya si pegawai tidak akan serius melaksanakan tugasnya kecuali berusaha mengumpulkan modal agar dapat menyogok atasan lagi untuk seceatnya 'dikeluarkan' dari desa.
c. Dll..
8. Hadirnya konglomerat-konglomerat Batak yang berusaha mengeksploitasi pedesaan dengan pembabatan hutan dan illegal logging dengan dukungan dan sertifiaksi tanah dari desa. Padahal tanahnya adalah tanah negara. Serhingga membuat desa-desa tersebut kekeringan dan sering kali mengalami bencana.
9. Jumlah penduduk desa-desa Tapanuli sangat sedikit dan tingkat ekonomi yang relatif rendah, sehingga suara dan penderitaan mereka tidak layak berita oleh koran-koran daerah apalagi nasional. Sehingga yang miskin tetap miskin yang menderita tetap menderita, kecuali keluarga tersebut mempunyai anak atau family yang pejabat atau 'alat negara'.
Well, aku tarik nafas terhadap teman saya itu. Sudah lima tahun kami berpisah dan tidak pernah ada kontak. Kemana gerangan kawan tersebut? kalau dia sudah jadi pejabat atau PNS, aku rasa dia akan membangun desanya, minimal di kampungnya Dolok Sanggul.