Breaking News

Pemulihan Pasca Bencana Sumatera: Bulan atau Tahun?


Perbedaan pandangan mencuat terkait estimasi waktu pemulihan pascabencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla memperkirakan pemulihan membutuhkan waktu dua hingga tiga tahun, sementara Presiden Prabowo Subianto menyatakan keyakinannya bahwa pemulihan dapat dirampungkan dalam dua hingga tiga bulan.

Presiden Prabowo secara terbuka menyampaikan target tersebut dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin. Ia menegaskan pemerintah bekerja keras agar masyarakat terdampak bencana dapat kembali beraktivitas normal dalam waktu relatif singkat.

“Saya telah minta maaf, saya tidak punya tongkat Nabi Musa. Kita tidak bisa selesaikan dalam 3 hari, 4 hari, 5 hari. Mungkin 2-3 bulan aktivitas akan benar-benar normal,” ujar Prabowo di hadapan para menteri.

Pernyataan ini menunjukkan pendekatan optimistis pemerintah pusat yang menekankan kecepatan pemulihan fungsi sosial dan ekonomi dasar. Fokus utamanya adalah membuka kembali akses jalan, memulihkan layanan publik, serta memastikan roda ekonomi masyarakat kembali bergerak.

Di sisi lain, Jusuf Kalla melihat pemulihan dari perspektif yang lebih struktural dan jangka panjang. Pengalaman panjangnya dalam penanganan bencana besar seperti tsunami Aceh 2004 dan gempa Palu menjadi dasar penilaiannya bahwa kerusakan infrastruktur, lingkungan, dan tatanan sosial tidak dapat pulih sepenuhnya dalam hitungan bulan.

Perbedaan ini sesungguhnya berangkat dari perbedaan definisi tentang “pemulihan”. Bagi Prabowo, pemulihan dimaknai sebagai kembalinya aktivitas normal masyarakat secara fungsional. Sementara bagi Jusuf Kalla, pemulihan berarti rekonstruksi menyeluruh yang membuat wilayah terdampak benar-benar pulih dan lebih tangguh dari sebelumnya.

Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, dampak bencana tidak hanya berupa rumah rusak dan jalan terputus. Banyak wilayah pegunungan mengalami longsor besar, perubahan alur sungai, serta kerusakan lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan utama warga.

Pemulihan akses jalan dan jembatan darurat memang bisa dilakukan dalam hitungan minggu hingga bulan dengan pengerahan alat berat dan personel TNI. Namun membangun kembali jalan permanen, jembatan standar nasional, dan sistem drainase yang aman membutuhkan perencanaan dan waktu yang jauh lebih panjang.

Hal serupa berlaku pada sektor perumahan. Hunian sementara dapat disediakan relatif cepat, tetapi pembangunan rumah permanen yang layak, aman bencana, dan sesuai tata ruang tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.

Lingkungan hidup menjadi faktor lain yang sering luput dari target pemulihan cepat. Longsor dan banjir besar mengubah struktur tanah, merusak hutan, serta memicu risiko bencana lanjutan jika tidak ditangani secara komprehensif. Proses rehabilitasi lingkungan umumnya memakan waktu bertahun-tahun.

Dari sisi ekonomi, pasar dan aktivitas dagang memang bisa kembali berjalan dalam beberapa bulan. Namun pemulihan pendapatan petani, pekebun, dan pelaku usaha kecil yang lahannya rusak atau modalnya hilang membutuhkan siklus produksi yang tidak singkat.

Dalam konteks inilah estimasi Jusuf Kalla menjadi masuk akal. Dua hingga tiga tahun adalah rentang waktu yang lazim digunakan dalam standar internasional untuk fase rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana besar.

Namun bukan berarti target Prabowo sepenuhnya keliru. Target dua hingga tiga bulan dapat dipahami sebagai sasaran pemulihan awal, agar masyarakat tidak terlalu lama berada dalam kondisi darurat dan ketergantungan bantuan.

Secara politik dan psikologis, pernyataan optimistis dari kepala negara juga berfungsi menenangkan publik dan mendorong percepatan kerja birokrasi. Tanpa target agresif, proses pemulihan sering kali tersendat oleh prosedur dan koordinasi yang lambat.

Masalah muncul jika target jangka pendek disalahartikan sebagai pemulihan total. Ekspektasi publik yang terlalu tinggi dapat berujung kekecewaan ketika realitas di lapangan menunjukkan proses rekonstruksi masih panjang.

Karena itu, pendekatan paling realistis adalah menggabungkan kedua pandangan tersebut. Pemulihan fungsi dasar dan aktivitas normal masyarakat memang bisa dikejar dalam dua hingga tiga bulan, sebagaimana diyakini Presiden Prabowo.

Sementara itu, pemulihan menyeluruh yang mencakup infrastruktur permanen, lingkungan hidup, dan ketahanan ekonomi warga tetap membutuhkan waktu dua hingga tiga tahun, seperti diperkirakan Jusuf Kalla.

Dengan pemahaman ini, perbedaan pendapat tidak perlu dilihat sebagai kontradiksi, melainkan sebagai dua lapis waktu pemulihan yang berbeda. Jangka pendek untuk kembali bernapas, dan jangka panjang untuk benar-benar pulih.

Pada akhirnya, ukuran keberhasilan bukan terletak pada siapa yang paling cepat atau paling lama memperkirakan waktu, melainkan pada apakah Sumatera bangkit dengan kondisi yang lebih aman, lebih siap, dan lebih berkelanjutan dari sebelum bencana terjadi.