Breaking News

Perjanjian Itari, Campur Tangan Asing dan Api Perang Sudan


Perang saudara Sudan yang pecah pada April 2023 tidak muncul secara tiba-tiba. Akar konflik itu dapat ditelusuri ke sebuah kesepakatan politik yang awalnya dipuji sebagai jalan keluar krisis, yakni Perjanjian Kerangka Sudan 2022 atau dikenal sebagai Perjanjian Itari. Kesepakatan ini dimaksudkan untuk menyatukan militer Sudan dan membawa negara itu kembali ke jalur pemerintahan sipil.

Perjanjian Itari ditandatangani pada 5 Desember 2022 oleh dua kekuatan bersenjata utama Sudan, yakni Sudanese Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF). Kesepakatan ini didukung dan ditengahi oleh PBB, Uni Afrika, IGAD, serta negara-negara Barat dan Timur Tengah yang berkepentingan pada stabilitas kawasan Laut Merah.

Dalam dokumen tersebut, poin paling krusial adalah rencana integrasi RSF ke dalam SAF melalui reformasi sektor keamanan. Integrasi ini dimaksudkan untuk mengakhiri keberadaan dua angkatan bersenjata paralel dalam satu negara. Namun sejak awal, klausul inilah yang menyimpan potensi konflik paling besar.

SAF menginginkan integrasi dilakukan cepat dan tegas agar negara kembali memiliki satu komando militer. Sebaliknya, RSF menuntut proses panjang dengan masa transisi hingga satu dekade, sambil tetap mempertahankan struktur, senjata, dan kepemimpinan sendiri. Perbedaan pandangan ini tidak pernah benar-benar diselesaikan dalam Perjanjian Itari.

Masalah makin rumit karena RSF bukanlah tentara reguler. Pasukan ini berakar dari milisi Janjaweed di Darfur dan berkembang menjadi kekuatan bersenjata dengan kepentingan ekonomi besar, terutama di sektor pertambangan emas dan perdagangan lintas negara. Namun dalam proses Itari, RSF justru diperlakukan setara dengan militer negara.

Legitimasi politik internasional yang diberikan kepada RSF menjadi titik balik penting. Pemimpin RSF, Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti, mulai diterima sebagai aktor politik sah dalam forum-forum internasional. Ia duduk sejajar dengan panglima SAF, Abdel Fattah al-Burhan, meski RSF tidak berada dalam rantai komando negara.

Legitimasi ini memberi pesan ganda. Di satu sisi, komunitas internasional berharap RSF bersedia melebur. Namun di sisi lain, RSF justru memperoleh pengakuan yang memperkuat posisinya sebagai kekuatan otonom. Hal ini mengikis insentif untuk benar-benar menyerahkan senjata dan komando.

Perjanjian Itari juga dikritik karena terlalu menitikberatkan kesepakatan politik di atas kertas, tanpa menyelesaikan persoalan teknis militer yang paling sensitif. Isu rantai komando, kepemilikan senjata berat, dan kontrol wilayah tidak diputuskan secara tegas sebelum tenggat integrasi diumumkan.

Di sinilah peran aktor asing mulai dipersoalkan. Negara-negara dan lembaga internasional dinilai gagal membaca realitas kekuasaan Sudan yang sangat bersenjata dan personalistik. RSF bukan institusi negara, melainkan kekuatan yang bertumpu pada loyalitas pribadi dan jaringan ekonomi.

Kepentingan regional turut memperkeruh keadaan. Mesir cenderung mendukung SAF sebagai militer resmi negara. Sementara RSF memiliki hubungan ekonomi dan logistik dengan pihak luar, terutama melalui perdagangan emas. Negara-negara besar lebih memilih stabilitas jangka pendek ketimbang reformasi militer mendasar.

Situasi ini menciptakan keseimbangan rapuh. SAF dan RSF sama-sama merasa memiliki legitimasi, baik domestik maupun internasional. Ketika tenggat integrasi mendekat tanpa kesepakatan nyata, ketegangan meningkat di lapangan, terutama di Khartoum dan pangkalan-pangkalan strategis.

Ketegangan tersebut akhirnya meledak pada April 2023. Bentrokan bersenjata antara SAF dan RSF berubah cepat menjadi perang terbuka yang menghancurkan ibu kota dan memicu krisis kemanusiaan besar. Ribuan warga sipil tewas, jutaan lainnya mengungsi.

Dalam konteks ini, istilah “tangan asing” kerap digunakan untuk menjelaskan konflik Sudan. Namun para pengamat menilai istilah itu perlu dipahami secara hati-hati. Aktor asing tidak menciptakan konflik dari nol, tetapi mempercepat dan mempertajam konflik yang sudah ada.

Kesalahan utama terletak pada desain transisi. Komunitas internasional terlalu cepat memberi legitimasi politik sebelum memastikan monopoli senjata berada di tangan negara. RSF diberi ruang sebagai mitra politik, bukan dipaksa lebih dulu menjadi institusi militer yang tunduk pada negara.

Dengan kata lain, Perjanjian Itari gagal menjawab pertanyaan paling mendasar, yakni siapa yang memegang kekuasaan senjata di Sudan. Tanpa jawaban itu, transisi sipil hanya menjadi slogan, sementara aktor bersenjata bersiap mempertahankan kepentingannya masing-masing.

Perang Sudan menunjukkan bahwa kesepakatan politik tidak bisa dilepaskan dari realitas kekuatan di lapangan. Perdamaian tidak cukup dibangun lewat dokumen, tetapi harus disertai penataan militer yang tegas dan konsisten.

Kasus Sudan kini menjadi pelajaran pahit bagi diplomasi internasional. Legitimasi yang diberikan tanpa kontrol dapat berubah menjadi bahan bakar konflik. Apa yang dimaksudkan sebagai jalan damai justru menjadi pemantik perang.

Hingga kini, Sudan masih terjerumus dalam kekerasan berkepanjangan. Perjanjian Itari, yang dulu digadang sebagai solusi, kini dikenang sebagai titik awal runtuhnya keseimbangan rapuh antara SAF dan RSF.

Bagi rakyat Sudan, kegagalan ini bukan sekadar kegagalan politik, melainkan tragedi kemanusiaan. Dan bagi dunia, konflik ini menjadi pengingat bahwa perdamaian tidak bisa dibangun di atas kompromi yang mengabaikan fakta senjata dan kekuasaan.