Skema Pendanaan Pangkalan Militer AS di Luar Negeri
Amerika Serikat dikenal memiliki jaringan pangkalan militer terbesar di dunia, dengan ratusan instalasi yang tersebar di berbagai negara. Pangkalan-pangkalan ini dibangun bukan hanya untuk kepentingan pertahanan regional, tetapi juga sebagai instrumen geopolitik guna memastikan pengaruh AS di berbagai kawasan strategis. Namun, tak semua pangkalan tersebut beroperasi dengan sistem pendanaan yang sama. Beberapa dibangun atas biaya AS, sebagian disewa, dan ada pula yang dibiayai sepenuhnya oleh negara tuan rumah.
Salah satu contoh paling mencolok adalah Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar. Fasilitas militer seluas 24 hektare itu merupakan yang terbesar di Timur Tengah dan berfungsi sebagai markas Komando Pusat AS (CENTCOM). Meski digunakan oleh militer AS, Al Udeid sejak 2003 didanai sepenuhnya oleh pemerintah Qatar. Tercatat hingga 2025, Qatar telah menginvestasikan lebih dari US$ 8 miliar untuk pengembangan pangkalan ini.
Pendanaan dari Qatar ini memungkinkan AS menghemat miliaran dolar anggaran militer. Bahkan dalam laporan The Hill yang dikutip Al Jazeera, Al Udeid disebut sebagai investasi Qatar yang memperkuat kesiapan militer AS tanpa membebani pajak rakyat Amerika. Qatar berkepentingan menjaga hubungan strategis dengan Washington di tengah ketegangan kawasan Teluk.
Berbeda dengan Al Udeid, Pangkalan Militer Camp Lemonnier di Djibouti merupakan fasilitas yang disewa langsung oleh AS dari pemerintah setempat. Djibouti menjadi lokasi penting karena letaknya yang strategis di jalur pelayaran Selat Bab el-Mandeb, pintu masuk ke Laut Merah. Pemerintah AS membayar sekitar US$ 63 juta per tahun untuk sewa pangkalan ini, plus tambahan biaya pembangunan dan perluasan fasilitas.
Sementara itu, di Jepang dan Korea Selatan, sebagian besar pangkalan militer AS dibiayai secara berbagi. Pemerintah Jepang melalui skema Host Nation Support (HNS) bahkan menanggung sekitar 70 persen dari total biaya operasional pangkalan AS di sana. Jepang berkepentingan menjaga kehadiran militer AS di kawasan Pasifik untuk menyeimbangkan pengaruh Cina dan Korea Utara.
Korea Selatan juga menerapkan sistem serupa. Sejak perjanjian Special Measures Agreement (SMA), Seoul secara rutin menyumbang dana tahunan untuk keberadaan pasukan AS di wilayahnya. Pada 2021 saja, kontribusi Korea Selatan mencapai lebih dari US$ 1 miliar. Meski masih di bawah Jepang, sistem pendanaan bersama ini menegaskan bahwa keberadaan pasukan AS tak sepenuhnya ditanggung Washington.
Beberapa pangkalan militer AS lainnya, seperti di Bahrain, Kuwait, dan Arab Saudi, dibangun berdasarkan perjanjian bilateral. Di beberapa kasus, fasilitas ini diberikan secara gratis oleh pemerintah tuan rumah karena alasan strategis, atau dibangun dengan dana bersama. Di Bahrain, misalnya, markas Armada Kelima AS beroperasi sejak 1995 tanpa pungutan sewa, sebagai bentuk dukungan atas peran AS menjaga stabilitas Teluk.
Kondisi berbeda terjadi di Eropa. Di Jerman, meskipun pangkalan AS seperti Ramstein Air Base dan beberapa fasilitas lain dibangun sejak era Perang Dingin, sebagian besar biaya operasional kini ditanggung AS. Namun, pemerintah Jerman tetap memberikan berbagai insentif berupa tanah, infrastruktur, dan kemudahan logistik.
Pangkalan-pangkalan AS di Inggris, Italia, dan Spanyol juga berdiri atas dasar perjanjian bilateral. Biasanya, AS tidak membayar sewa langsung, tetapi membiayai operasional sendiri dengan beberapa fasilitas dukungan dari pemerintah setempat. Di Inggris, keberadaan US Air Force di RAF Lakenheath dan RAF Mildenhall menjadi simbol aliansi kuat kedua negara.
Di kawasan Pasifik Selatan, Guam menjadi pangkalan militer AS terbesar di wilayah tersebut yang sepenuhnya dimiliki dan dibiayai oleh pemerintah AS. Letaknya yang strategis membuat Guam dijadikan pangkalan induk pesawat pengebom jarak jauh dan kapal selam nuklir untuk menghadapi potensi ancaman dari Cina dan Korea Utara.
Pola pengelolaan pangkalan AS di luar negeri memang bervariasi, disesuaikan dengan kepentingan geopolitik, hubungan bilateral, dan posisi strategis tiap negara tuan rumah. AS kerap memanfaatkan berbagai skema, mulai dari sewa, pendanaan bersama, hingga hibah fasilitas gratis, demi menjaga keberadaan militernya secara efisien.
Sejumlah negara tuan rumah bersedia menanggung biaya karena melihat kehadiran pasukan AS sebagai garansi keamanan. Negara-negara Teluk, Jepang, dan Korea Selatan termasuk yang rela menggelontorkan dana besar demi mempertahankan aliansi militer dengan Washington.
Pangkalan AS juga menjadi instrumen diplomasi militer yang efektif. Lewat keberadaan pangkalan, AS dapat menekan lawan geopolitik, memantau lalu lintas perdagangan, serta cepat bereaksi terhadap konflik di kawasan. Inilah yang membuat jaringan pangkalan AS tetap dipertahankan meski menuai kritik dari sebagian kalangan di dalam negeri.
Dengan model pendanaan beragam, AS berhasil menciptakan sistem pangkalan luar negeri yang relatif murah dan efisien. Di beberapa titik, bahkan kehadiran pasukan AS menjadi simbol hubungan diplomatik istimewa dan bagian dari keseimbangan kawasan yang sensitif secara geopolitik.
Ke depan, skema pangkalan militer ini kemungkinan akan terus disesuaikan seiring perubahan situasi global. Negara-negara seperti Qatar dan Jepang diprediksi tetap menjadi mitra utama, sementara kawasan Afrika Timur dan Asia Tenggara mulai dilirik sebagai lokasi potensial bagi ekspansi pangkalan baru.
Jaringan pangkalan luar negeri ini menegaskan bahwa strategi militer AS tak hanya soal kekuatan senjata, tetapi juga kemampuan memanfaatkan kemitraan strategis dan diplomasi pertahanan. Lewat pangkalan ini, AS mampu mempertahankan posisi sebagai kekuatan militer global tanpa harus membebani anggaran nasional secara berlebihan.