Sudan, Turki, dan Mesir: Tiga Moda Perebutan Kekuasaan
Konflik bersenjata yang melanda Sudan antara Sudanese Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF) membuka perbandingan tajam dengan cara negara lain menghadapi konflik internal kekuasaan. Kasus Sudan kontras dengan Turki saat menghadapi kudeta yang dituduhkan kepada jaringan FETO, serta Mesir ketika militer di bawah Abdel Fattah el-Sisi menggulingkan Presiden Mohamed Mursi.
Di Sudan, konflik tidak berawal dari perbedaan ideologi atau politik semata, melainkan dari keberadaan dua kekuatan bersenjata yang sama-sama memiliki legitimasi. SAF adalah tentara resmi negara, sementara RSF merupakan milisi yang dilegalkan dan diberi peran negara tanpa pernah sepenuhnya dilebur.
Perjanjian Itari 2022 menjadi titik krusial. Kesepakatan ini dimaksudkan untuk menyatukan SAF dan RSF dalam satu struktur militer nasional. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah, perjanjian tersebut justru menunda inti persoalan, yakni siapa yang memegang kendali senjata.
RSF memperoleh legitimasi politik dan internasional sebelum integrasi militer benar-benar terjadi. Pemimpinnya diperlakukan setara dengan panglima tentara negara. Dalam kondisi seperti itu, negara kehilangan monopoli kekerasan, sebuah prasyarat utama stabilitas.
Ketika ketegangan meningkat, Sudan tidak memiliki mekanisme penegakan hukum atau militer yang efektif terhadap RSF. Setiap upaya penindakan otomatis berubah menjadi perang terbuka. Inilah yang membedakan Sudan dari Turki dan Mesir.
Turki menghadapi ancaman berbeda pada 2016 saat terjadi percobaan kudeta yang dituduhkan didalangi jaringan Fethullah Gulen atau FETO. Konflik ini terjadi di dalam institusi negara, bukan antara dua angkatan bersenjata terpisah.
Meski ada faksi dalam militer, Turki tetap memiliki satu angkatan bersenjata nasional. Tidak ada milisi paralel yang diakui negara. Aparat keamanan, polisi, dan intelijen tetap berada di bawah struktur negara yang sama.
Respons Turki bersifat cepat dan terpusat. Pemerintah memberlakukan status darurat, mengendalikan komando militer, serta menggunakan instrumen hukum untuk membersihkan jaringan yang dianggap membangkang. Negara bertindak sebagai satu kesatuan.
Hasilnya, konflik tidak berkembang menjadi perang saudara. Tuduhan terhadap FETO diselesaikan melalui penindakan institusional, meski menuai kritik internasional terkait HAM dan kebebasan sipil.
Kasus Mesir juga menunjukkan pola berbeda dari Sudan. Kudeta terhadap Presiden Mohamed Mursi pada 2013 dilakukan oleh militer yang bersatu di bawah satu komando. Tidak ada kekuatan bersenjata tandingan yang menantang negara secara militer.
Militer Mesir, di bawah Sisi, memilih langkah represif cepat. Pemerintahan Mursi dijatuhkan, Ikhwanul Muslimin dibubarkan, dan potensi perlawanan bersenjata ditekan sejak awal. Konflik diselesaikan dengan cara keras, namun terkontrol.
Mesir membayar stabilitas dengan kemunduran demokrasi. Namun dari sudut pandang keamanan negara, konflik tidak berubah menjadi perang berkepanjangan karena senjata tetap berada di satu tangan.
Perbandingan ini menunjukkan perbedaan mendasar dalam penanganan konflik. Turki dan Mesir menghadapi konflik internal sebelum negara terbelah secara bersenjata. Sudan justru membiarkan fragmentasi senjata berlangsung bertahun-tahun.
Legitimasi menjadi faktor penentu. Di Turki, FETO tidak pernah diakui sebagai aktor politik bersenjata. Di Mesir, partai pendukung presiden tidak diberi ruang untuk membangun kekuatan militer. Negara bertindak tegas menjaga otoritas.
Sebaliknya, di Sudan, RSF diberi status politik dan ruang manuver. Negara berharap kompromi bersenjata dapat menghasilkan stabilitas. Harapan ini runtuh ketika kepentingan kedua pihak bertabrakan.
Sudan terjebak dalam ilusi transisi damai tanpa terlebih dahulu menyelesaikan persoalan kekuasaan senjata. Perjanjian politik didahulukan, sementara integrasi militer ditunda dan dinegosiasikan.
Turki dan Mesir memilih jalan berbeda. Keduanya memprioritaskan keutuhan institusi keamanan, meski dengan konsekuensi otoritarianisme. Sudan mencoba jalan kompromi, tetapi kehilangan kendali.
Pelajaran utama dari perbandingan ini adalah pentingnya ketegasan oleh negara. Tanpa itu, hukum dan politik tidak memiliki daya paksa. Negara berubah menjadi arena konflik antar-pasukan.
Sudan menunjukkan bahwa legitimasi politik tanpa kontrol senjata adalah resep bencana. Turki dan Mesir, sebaliknya, menunjukkan bahwa stabilitas sering dibangun dengan keputusan keras yang tidak selalu populer.
Pada akhirnya, ketiga kasus ini menggambarkan pilihan-pilihan sulit negara modern. Antara stabilitas dan demokrasi, antara kompromi dan ketegasan. Sudan memilih kompromi bersenjata dan terjerumus ke perang, sementara Turki dan Mesir memilih ketegasan dan tetap utuh sebagai negara.
