Harian Batak Pos
Beberapa hari ini saya sibuk menjawab dan meladeni SMS teman-teman saya. Masalahnya adalah, banyak tulisan saya di blog marbun.blogspot.com yang dikutip oleh sebuah harian baru. Namanya Harian Batak Pos.
Diantara mereka ada yang gembira karena mengira saya telah memasukkan tulisan blog saya ke harian tersebut. Ada juga yang merasa saya harus menulis surat ke koran tersebut karena hampir semua bagian tulisan tersebut dikutip.
Saat pertama kali saya mendengar berita tersebut, saya santai saja. Menurut saya, wajar saja media mengutif setiap blog, punya siapa-pun itu, karena memang blog dibuat untuk umum. Namun, diam-diam saya merasa senang juga. Bukan karena pengutipan itu, tapi karena ternyata telah terbit sebuah harian yang bernama Batak Pos, yang tentunya saya yakin banyak mengakomodasi kepentingan komunitas Batak khususnya dan Sumatera Utara pada umumnya. Sebagai orang Batak yang tinggal di Jakarta, hal tersebut bagi saya cukup menggembirakan.
Sama gembiranya ketika saya melihat pajangan koran Tapanoeli Baroe di perpustakaan nasional yang berada tepat di pintu masuk. Koran yang terbit di masa tahuan 40-an itu, walau sudah lapuk memberi rasa bahagia bagi saya yang sangat merindukan adanya jiwa patriotisme (bukan fanatisme yah) dari generasi Batak untuk membangun bangsa ini dengan cara pembangunan komunitasnya.
Saya berusah mencari koran tersebut di lapak-lapak koran yang menjadi langganan saya. Namun nihil. Saya mengira bahwa koran tersebut mungkin saja terbit di Jakarta namun sirkulasinya di Jakarta sangat terbatas sehingga saya sulit menemukannya. Maklumlah masih koran baru. Sayapun melupakan kejadian tersebut.
Namun, karena semakin seringnya orang menelpon saya mengenai kutipan tersebut, keingintahuan saya mengenai koran tersebut semakin membesar. Saya memutuskan untuk keliling terminal dan station kereta untuk mencarinya. Nah gotcha!!!!!!!!!
Alangkah gembiranya saya menemukan koran tersebut. Seakan pulang kampung sekejap ke bonapasogit. Isinya lumayan bermutu dan lay-out nya standard dan tidak memalukan seperti halnya koran-koran murahan lainnya.
Walaupun hanya mempunyai lembaran yang sedikit, saya yakin harganya yang 2000 rupiah tidak akan terlalu mahal buat konsumen yang ingin menikmati berita-berita seputar bonapasogit; Sumatera Utara. Atau setidaknya teriakan-teriakan orang-orang Sumut akan terdengar sampai ke ibu kota.
Soal kutipan tersebut saya hanya tersenyum simpul. Yah, ada kalanya kita berpikir bukan dari perspektif umum. Apa salahnya dikutip. Saya teringat dengan teman saya Boni Triawan yang menjadi penulis ulung. Hasil karyanya dalam bilang sejarah pernah meledak beberapa tahun yang lalu. Namun di sela-sela kesibukannya dia menyempatkan diri untuk membuat tulisan yang akan dikirimkannya ke koran-koran daerah di Banten, karena dia memang aseli Banten, free of charge.
Hah??? Aku yang melihat tindakannya itu merasa tercengang dan salut. Ko mau-maunya habis energi untuk sesuatu yang tidak penting. Dari dia aku mengerti bahwa dia merasa sangat berhutang budi dengan Banten, tempat kelahirannya. Alasannya mungkin personal. Hutang budi tersebut dia bayar dengan cara membangun masyarakat Banten melalui tulisan-tulisannya yang membangun. Harapannya, minimal pembacanya terinspirasi untuk membuat sesuatu yang lebih baik. Katanya, dia maklum bahwa media-media daerah itu, untuk survive saja sudah sangat sulit. Apalagi untuk memberi sekedar imbalan bagi penulisnya. Selama beberapa bulan saya berteman dengannya sedikit terkuak bagi saya arti sebuah ketulusan dalam perjuangan untuk kemajuan.
Seorang teman saya yang mendengar jawabanku ini mengatakan bahwa "setidaknya yah.. lho diberitahu gicu..."..
Terlepas dari itu semua, hadirnya Batak Pos di Jakarta seperti mengisi kekosongan di alam pikiran bawah sadarku. Sepertinya ada yang tergoyang sehingga memori itu beterbangan kembali memenuhi pikiran sadar.
Apapun itu, Sukses buat Harian Batak Pos.
Diantara mereka ada yang gembira karena mengira saya telah memasukkan tulisan blog saya ke harian tersebut. Ada juga yang merasa saya harus menulis surat ke koran tersebut karena hampir semua bagian tulisan tersebut dikutip.
Saat pertama kali saya mendengar berita tersebut, saya santai saja. Menurut saya, wajar saja media mengutif setiap blog, punya siapa-pun itu, karena memang blog dibuat untuk umum. Namun, diam-diam saya merasa senang juga. Bukan karena pengutipan itu, tapi karena ternyata telah terbit sebuah harian yang bernama Batak Pos, yang tentunya saya yakin banyak mengakomodasi kepentingan komunitas Batak khususnya dan Sumatera Utara pada umumnya. Sebagai orang Batak yang tinggal di Jakarta, hal tersebut bagi saya cukup menggembirakan.
Sama gembiranya ketika saya melihat pajangan koran Tapanoeli Baroe di perpustakaan nasional yang berada tepat di pintu masuk. Koran yang terbit di masa tahuan 40-an itu, walau sudah lapuk memberi rasa bahagia bagi saya yang sangat merindukan adanya jiwa patriotisme (bukan fanatisme yah) dari generasi Batak untuk membangun bangsa ini dengan cara pembangunan komunitasnya.
Saya berusah mencari koran tersebut di lapak-lapak koran yang menjadi langganan saya. Namun nihil. Saya mengira bahwa koran tersebut mungkin saja terbit di Jakarta namun sirkulasinya di Jakarta sangat terbatas sehingga saya sulit menemukannya. Maklumlah masih koran baru. Sayapun melupakan kejadian tersebut.
Namun, karena semakin seringnya orang menelpon saya mengenai kutipan tersebut, keingintahuan saya mengenai koran tersebut semakin membesar. Saya memutuskan untuk keliling terminal dan station kereta untuk mencarinya. Nah gotcha!!!!!!!!!
Alangkah gembiranya saya menemukan koran tersebut. Seakan pulang kampung sekejap ke bonapasogit. Isinya lumayan bermutu dan lay-out nya standard dan tidak memalukan seperti halnya koran-koran murahan lainnya.
Walaupun hanya mempunyai lembaran yang sedikit, saya yakin harganya yang 2000 rupiah tidak akan terlalu mahal buat konsumen yang ingin menikmati berita-berita seputar bonapasogit; Sumatera Utara. Atau setidaknya teriakan-teriakan orang-orang Sumut akan terdengar sampai ke ibu kota.
Soal kutipan tersebut saya hanya tersenyum simpul. Yah, ada kalanya kita berpikir bukan dari perspektif umum. Apa salahnya dikutip. Saya teringat dengan teman saya Boni Triawan yang menjadi penulis ulung. Hasil karyanya dalam bilang sejarah pernah meledak beberapa tahun yang lalu. Namun di sela-sela kesibukannya dia menyempatkan diri untuk membuat tulisan yang akan dikirimkannya ke koran-koran daerah di Banten, karena dia memang aseli Banten, free of charge.
Hah??? Aku yang melihat tindakannya itu merasa tercengang dan salut. Ko mau-maunya habis energi untuk sesuatu yang tidak penting. Dari dia aku mengerti bahwa dia merasa sangat berhutang budi dengan Banten, tempat kelahirannya. Alasannya mungkin personal. Hutang budi tersebut dia bayar dengan cara membangun masyarakat Banten melalui tulisan-tulisannya yang membangun. Harapannya, minimal pembacanya terinspirasi untuk membuat sesuatu yang lebih baik. Katanya, dia maklum bahwa media-media daerah itu, untuk survive saja sudah sangat sulit. Apalagi untuk memberi sekedar imbalan bagi penulisnya. Selama beberapa bulan saya berteman dengannya sedikit terkuak bagi saya arti sebuah ketulusan dalam perjuangan untuk kemajuan.
Seorang teman saya yang mendengar jawabanku ini mengatakan bahwa "setidaknya yah.. lho diberitahu gicu..."..
Terlepas dari itu semua, hadirnya Batak Pos di Jakarta seperti mengisi kekosongan di alam pikiran bawah sadarku. Sepertinya ada yang tergoyang sehingga memori itu beterbangan kembali memenuhi pikiran sadar.
Apapun itu, Sukses buat Harian Batak Pos.