Breaking News

AIDS: Sembuh Tidak, Duit Terkuras

KESEHATAN


Obat bermerek untuk penderita AIDS dipersoalkan kualitasnya. Obat mahal itu membuat virus AIDS makin kebal. Jumlah virus tetap bertambah, dan sistem kekebalan kian anjlok. Pengombinasian beberapa obat bisa menghindari resistensi virus.

FIRMAN, bukan nama sebenarnya, sepintas tampak segar. Pria ini seperti tak pernah lelah ketika memberikan penyuluhan acquired immune deficiency syndrome (AIDS) di Yayasan Pelita Ilmu, Kebon Baru, Jakarta Selatan. Yayasan Pelita Ilmu adalah lembaga yang menangani penderita AIDS. Di situ terdapat rumah singgah sementara.

Bahkan, Kamis pekan lampau, warga Jakarta ini pergi ke Bogor untuk memberikan penyuluhan serupa kepada sejumlah perusahaan yang berkantor di sana. Ia kelihatan tak memedulikan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Sudah satu tahun ini, Firman dideteksi sebagai pengidap human immunodeficiency virus (HIV), penyebab AIDS. Disebut pengidap lantaran belum terkena penyakit penyerta AIDS, seperti kanker kulit sarkoma kaposi dan radang paru-paru (lihat bagan).

Setelah tahu positif terjangkit virus penyebab AIDS, Firman minum obat anti-AIDS generik buatan Thailand. Obat tersebut merupakan kombinasi tiga komponen: nevirapine berdosis 200 mg, lamivudine 150 mg, dan stavudine 40 mg. Tapi ia terkejut ketika meminum obat itu. Rambut kepalanya mulai rontok. Tak lama kemudian, tubuhnya lunglai.

"Saya tak bisa jalan lebih dari tiga langkah. Wah, capek sekali dan napas tersengal-sengal," ujar Firman kepada wartawan Gatra Ruwi Wulan. Dia tambahkan, sekujur badannya juga terasa gatal tak keruan, perut mual dan muntah. "Setiap satu menit usai menenggak obat, saya muntah," katanya. Beruntung, itu cuma berlangsung dua bulan. Setelah itu, gejala-gejala tak nyaman tersebut lenyap.

Firman beruntung tak menenggak obat bermerek. Sebab, obat paten itu kini tengah disorot. Adalah TREAT Asia --sebuah lembaga yang melibatkan sejumlah klinik, rumah sakit, dan lembaga riset yang disponsori American Foundation for AIDS Research, Manhattan, Amerika Serikat-- yang mempersoalkannya.

Dalam enam hari Konferensi Internasional AIDS di Bangkok, Thailand, yang berakhir Jumat lalu, TREAT Asia menyodorkan sejumlah temuan menarik. Disebutkan, dari 27 perusahaan obat paten untuk AIDS, hanya tiga perusahaan yang produknya memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sayangnya, TREAT tak menyebutkan nama-nama perusahaan tadi.

Menurut TREAT, obat-obat tersebut tidak menghambat pertumbuhan virus, melainkan justru membuat virus AIDS makin kebal terhadap pengobatan. Jumlah virus terus bertambah, dan sistem kekebalan kian anjlok.

Yang dirugikan tentu pasien penderita HIV-AIDS. Di dunia, kini ditaksir jumlahnya 38 juta jiwa. Sedangkan di Indonesia, menurut laporan terakhir Departemen Kesehatan per 30 Juni lalu, ada 2.685 pengidap HIV dan 1.525 penderita AIDS. Lagi pula, obat paten AIDS terbilang mahal. Saban bulan, pasien merogoh paling tidak Rp 1,5 juta. Padahal, pasien harus mengonsumsi obat itu seumur hidup. Sudah terkuras, kesembuhan pun makin jauh. Maka, TREAT Asia memandang perlu mekanisme yang lebih baik untuk mengontrol kualitas obat.

Temuan itu terang saja mengagetkan. "Saya tak percaya begitu banyak perusahaan yang terlibat dan rendahnya dokter-dokter yang terlatih mengobati AIDS," ujar Joep Lange, Presiden Masyarakat AIDS Internasional. Kalau hasilnya begitu, ia pun menganjurkan pasien mengonsumsi obat generik yang lebih murah. Obat generik boleh dibilang 2-4 kali lebih murah ketimbang obat bermerek.

Zubairi Djoerban, ahli penyakit AIDS pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengatakan bahwa masalah resistensi terjadi pada semua obat, tak terkecuali obat AIDS. Ambil contoh AZT. Sewaktu AZT diperkenalkan kembali sebagai obat tunggal, orang berharap banyak bisa sembuh dengan AZT. Tapi ternyata, obat itu justru mempercepat resistensi virus. "Dalam satu bulan pemakaian, virus sudah tak mempan dibasmi AZT," katanya.

Karena itu, para dokter lalu mengombinasikan tiga obat. Tujuannya, menghindari resistensi virus dalam waktu lebih lama. Kalau nantinya virus tadi resisten, dokter akan memberikan kombinasi obat yang lain. Sebab, kini sudah ada beragam obat AIDS. Selain AZT, ada lamivudine, ddC, ddI, dan sebagainya.

Sementara itu, Sigit Prohutomo, Kepala Sub-Direktorat AIDS dan Penyakit Menular Seksual, Departemen Kesehatan, mengatakan bahwa virus menjadi resisten lantaran pasien tak teratur mengonsumsi obat. "Sekali pasien stop minum, virus AIDS langsung tumbuh cepat dan bermutasi," ujarnya kepada Julkifli Marbun dari Gatra. Sebab, ketika diterapi, virus tidak mati. Ia hanya ngumpet.

Handojo Pradono, Head of Medical Magement PT Roche Indonesia, mengatakan bahwa resisten virus banyak terjadi pada pemakaian obat tunggal. "Kalau pada obat kombinasi, resistensi bisa dikurangi, meski tidak hilang," katanya. Dua produknya bermerek Hivid dan Fuzeon juga terbukti menurunkan kadar HIV sampai tak terdeteksi.

Soal harga, pihaknya juga menjual obat AIDS tertentu yang murah, tanpa memasukkan biaya riset ke dalam komponen harga. Sedangkan untuk Indonesia yang termasuk dalam kelompok negara menengah versi WHO, akan diberikan harga khusus.

http://gatra.icom/2004-07-23/majalah/artikel.php?pil=14&id=42102&crc=-782418322