Breaking News

WAWANCARA CACUK SURYO SUPROJO

LAPORAN KHUSUS

WAWANCARA CACUK SURYO SUPROJO
Risiko Tanggung Sendiri

Pemerintah mendorong berkembangnya penerbangan murah. Realisasi kebijakan meningkatkan jumlah penumpang hingga 20 juta di tahun 2004. Tak risau diterpa isu.

MUNCULNYA maskapai-maskapai baru telah mendorong datangnya era penerbangan murah. Meski sejalan dengan itu, kritikan keras terus berdatangan. Mulai sarana bandara yang kian semrawut hingga tudingan yang mengarah ke Departemen Perhubungan yang dinilai terlalu murah mengobral surat izin bagi perusahaan penerbangan.

Toh, Cucuk Suryo Suprojo menyatakan tak gentar. Menurutnya, penerbangan murah justru perlu makin dikembangkan. "Negara kita yang luas dan banyak pulau ini sangat membutuhkan transportasi udara yang murah," kata Dirjen Perhubungan Udara itu. Meski sempat diterpa isu jual beli izin penerbangan, alumnus Institut Teknologi Bandung kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 1951, itu mengaku tak risau.

Berikut jawaban Cucuk atas pernyataan wartawan Gatra, Julkifli Marbun, dengan fotografer, Didi Raharjo, seputar konsep penataan penerbangan di dalam negeri.

Bagaimana sebenarnya kebijakan penerbangan udara komersial kita?

Transportasi udara, kala mulai krisis ekonomi 1997 hingga 1999, mengalami penurunan kemampuan angkut yang sangat tajam. Pada 1996, kemampuan angkut udara domestik kita bisa 13,5 juta penumpang. Tapi pada tahun 1999 melorot tinggal 6,4 juta. Kemampuan armada juga turun tinggal sekitar 40%-nya. Pada masa krisis itu, kami berada pada posisi harus mempertahankan terselenggaranya transportasi udara.

Mengapa solusinya seperti sekadar terbang dengan tarif murah?

Melihat pengalaman negara lain, kami harus bisa menumbuhkan transportasi udara yang harga tiketnya terjangkau oleh masyarakat. Kami mendorong munculnya perusahaan penerbangan dengan biaya murah atau low cost carriers (LCC). Di negara lain, LCC juga berkembang. Ketika penerbangan non-LCC banyak merugi pada saat musim SARS dan perang teluk, penerbangan murah ini dapat bertahan. Atas dasar itu, kami melakukan relaksasi peraturan.

Maksudnya?

Relaksasi peraturan mulai sudah dilakukan sejak 1999-2000. Pada 2002 ada keputusan menteri yang mengatur tarif angkutan udara. Tarif ekonomi untuk penerbangan domestik hanya dibatasi pada batas atasnya saja, batas bawah tidak perlu. Hasilnya, jumlah penumpang mulai naik. Pada 2002, setelah tuntasnya peraturan relaksasi, kenaikan itu sudah terasa benar. Jumlah penumpang pesawat udara mencapai 12,5 juta orang.

Kami perkirakan pada 2004 jumlah penumpang akan menjadi 20 juta. Penumpang pun akhirnya mempunyai pilihan dan harga tiket bisa lebih murah. Penerapan tarif angkutan udara secara bertahap diberikan kepada mekanisme pasar dan berpihak kepada konsumen tapi tetap mempertimbangkan kelangsungan hidup pengusaha udara. Dan alhamdulillah, dari segi keselamatan, menurut data kami, juga menunjukkan perbaikan.

Apakah kebijakan ini sudah memperhitungkan dampaknya terhadap moda angkutan lainnya?

Bukan wewenang saya untuk menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan moda lain. Memang ada koordinasi antar-dirjen untuk mengatasi hal itu dengan membuat prioritas bagi setiap moda. Moda laut, misalnya, digunakan untuk transportasi barang, darat untuk transportasi dekat, dan udara untuk yang jauh.

Apa konsep Anda untuk membenahi bandara yang mulai tidak bisa menampung aktifitas penerbangan?

Kebijakan pembangunan transportasi udara didasarkan atas tiga hal. Bagi yang secara komersial belum bisa dilaksanakan, kami dorong. Kalau perlu diberi subsidi. Berkait dengan otonomi daerah, kalau ada pemda bersemangat membangun, ya dihargai. Sepanjang itu ide dia, dan ngotot, ya silahkan. Risikonya tanggung sendiri. Ketiga, untuk kawasan Indonesia Timur, bila belum ada bandara, demi pemerataan akan kami dukung dan lakukan pembangunan.

Anda diisukan menganakemaskan Lion Air, sehingga bisa mendapat tempat di terminal 2F?

Sebelum saya di sini (menjabat sebagai dirjen --Red.) Lion Air itu sudah ada di sana. Kalau Ditjen Perhubungan Udara harus ikut menentukan lokasi, ya nggak bisa. Ada hal lain yang mesti dipikirkan. Misalnya, soal bahan bakar, persaingan dengan maskapai negara lain, soal masuknya Air Asia, Jet Star, Virgin Air, Tiger Airways, dan masih banyak lagi hal lebih besar dan strategis yang menjadi tugas kami.

http://gatra.icom/2004-07-16/majalah/artikel.php?pil=14&id=42073&crc=1974828751