Breaking News

Reparasi Mesin Macet Demokrasi

INTERNASIONAL
Reparasi Mesin Macet Demokrasi

Sultan Brunei berniat menghidupkan parlemen. Namun, tanpa keterbukaan politik dan pers, apa manfaatnya?

PADA ulang tahunnya yang ke-58, Kamis pekan lalu, Sultan Hassanal Bolkiah memberi sebuah hadiah kejutan bagi rakyatnya. "Brunei akan membuka kembali parlemen untuk pertama kali sejak 40 tahun. Ini sebagai upaya untuk memberdayakan rakyat," katanya. Seriuskah dia? Sultan yang juga menjabat sebagai kepala negara dan pemerintahan Brunei sejak 1967 itu tentu tidak main-main.

Dalam pidato yang disiarkan secara nasional, Sultan menandaskan bahwa ia memberi prioritas pada upaya memperluas kesempatan kepada publik untuk bisa memberi kontribusi pada kemajuan negara. Karena itu, katanya, sebuah struktur formal untuk memberdayakan harus didirikan. "Untuk itu, saya memutuskan untuk mengaktifkan kembali dewan legislatif," katanya, seperti dilaporkan AFP.

Sultan yang juga perdana menteri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Keuangan ini mengatakan, parlemen akan dibuka "dalam waktu dekat". Tanpa merinci kerangka waktunya. Tak adanya acuan waktu membuat banyak kalangan menanggapi sinis keputusan itu. "Usaha itu bisa dikatakan terlambat," kata Profesor Muhammad Abu Bakar, Dekan Fakultas Studi Strategis dan Internasional Universitas Malaya.

Dalam wawancara Radio Internasional Singapura, Profesor Abu Bakar menyatakan, mesin demokrasi yang macet hampir 40 tahun tak akan begitu saja bisa dijalankan. Pasalnya, faktor pendorong internal tak terlalu kuat. Lagi pula, keinginan Brunei untuk melangkah ke jalan demokrasi hanyalah imbas arus globalisasi demokrasi, seperti perubahan kepemimpinan di negara Asia.

Memang, masih perlu ditunggu apakah "tawaran" Sultan itu benar-benar merupakan akibat langsung makin menguatnya desakan rakyat untuk mengambil porsi yang lebih besar dalam kehidupan politik. Hal itu bisa dilihat kelak dari wajah orang yang mau mengisi kursi parlemen. Apakah didominasi kalangan keluarga Sultan ataukah para politisi.

Brunei, yang menjadi protektorat Inggris sejak 1888, pernah memiliki dewan legislatif. Namun, parlemen itu dibubarkan pada 1962 oleh Sultan Omar Ali Saifuddin, ayah Sultan yang kini berkuasa. Waktu itu, Partai Rakyat Brunei yang berhaluan kiri memenangkan 10 kursi dari 21 kursi dewan yang diperebutkan.

Partai sosialis itu menghendaki hak-hak berdemokrasi yang penuh dan meminta sistem monarki diakhiri. Namun, permintaan itu tak dikabulkan. Akibatnya, meletuslah perlawanan bersenjata. Pemerintahan dengan cepat menumpas revolusi itu dengan bantuan pasukan Inggris. Sultan Omar lalu menyatakan negara dalam keadaan bahaya dan membatalkan pemilu. Partai Rakyat pun dinyatakan terlarang.

Namun, sumber resmi pemerintah menyebutkan, pertikaian itu dipicu dua kepentingan yang berseberangan. Sultan ingin bergabung dengan koloni Inggris lain seperti Serawak, Sabah, dan Semenanjung Malaysia. Sementara Partai Rakyat cuma ingin bergabung dengan Serawak dan Sabah. Akhirnya, pada 1963, Brunei memutuskan tetap menjadi protektorat Inggris, tak bergabung dengan Federasi Malaysia.

Empat tahun kemudian, Sultan Hassanal Bolkiah didaulat menggantikan ayahnya, Sultan Omar. Laporan Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan pada akhir Maret 2003 menyebutkan, beberapa orang yang terlibat dalam kudeta 1962 ditahan tanpa pengadilan selama 12 tahun, sebagian bisa melarikan diri ke pengasingan di Malaysia.

Pada pertengahan 1990-an, mereka mulai kembali ke Brunei dan ditangkapi. Mereka dilepaskan dari tahanan setelah bersedia bersumpah untuk setia pada Sultan dan mengaku telah melakukan "kejahatan" politik. Beberapa dari mereka dianugerahi kedudukan dalam pemerintahan. Pemimpin pemberontakan 1962, Sheikh Azahari bin Sheikh Mahmud, meninggal dalam pengasingan di Indonesia.

Sejak pemberontakan kaum sosialis itu, Sultan mencanangkan berbagai kebijakan untuk menyejahterakan rakyat. Layanan pendidikan dan kesehatan diberikan secara gratis. Para orang tua mendapat pensiun yang layak. Janda, yatim-piatu, dan fakir miskin dipelihara negara. Popularitas Sultan pun naik. Kini negara berpenduduk 345.000 dengan pendapatan per kapita lebih dari US$ 14.000 itu termakmur di dunia.

Pada 1970, dengan formasi dewan legislatif yang baru, pemilihan umum kedua dilakukan. Partai Oposisi menang lagi, namun untuk kedua kalinya dewan dibubarkan. Pada 1971-1984, terjadi amandemen UUD 1959. Undang-undang itu mengatur kerangka kerja untuk administrasi negara. Dalam proses itu, beberapa pasal yang berhubungan dengan pemilihan umum dan dewan legislatif diubah.

Sebuah pemerintahan dengan kabinet diterapkan untuk pertama kalinya sejak merdeka dari Inggris pada 1984. Perubahan dilakukan untuk memberi penekanan pada status baru Brunei sebagai negara yang berdaulat penuh, baik dalam urusan dalam negeri maupun kebijakan luar negeri dengan negara lain.

Setahun setelah Brunei merdeka, pemerintah membuka keran demokrasi. Penguasa melegalkan berdirinya Partai Demokratik Nasional Brunei (BNDP). Menyusul pada 1986, Partai Solidaritas Nasional Brunei (BNSP) diakui. Sayang, ketika demokrasi baru mulai bisa bernapas, mendadak kedua partai itu dibekukan oleh Sultan. BNDP dibubarkan karena meminta Sultan mundur sebagai perdana menteri.

Di Brunei, sebagaimana Laporan Hak Asasi Manusia, selain kehidupan politik yang terkekang, kebebasan berbicara dan pers pun masih terbelenggu. Di bawah aturan keadaan darurat yang diterapkan sejak 1962, pemerintah membatasi kebebasan mengeluarkan pendapat. Bahkan pada Oktober 2001, pemerintah mengeluarkan peraturan yang makin membatasi kebebasan pers.

Beberapa pembatasan itu, antara lain, kewajiban mengantongi izin bagi koran lokal serta persetujuan pemerintah untuk mempekerjakan staf redaksi dan jurnalis asing. Pendistribusian media asing juga dibatasi. Mereka terlebih dulu harus mendapat izin dari pemerintah. Undang-undang itu juga memberi wewenang pada pemerintah untuk menutup koran tanpa harus menunjukkan alasan.

Wartawan yang menerbitkan laporan "palsu dan menyesatkan" dalam versi pemerintah akan dikenai denda dan hukuman penjara. Medianya tak akan dibiarkan lagi beredar di negara itu. Semua itu ditempuh pemerintah dengan dalih untuk melindungi kepentingan publik, moral, dan keamanan nasional.

Tetapi, penggunaan faksimili, internet, dan akses parabola yang makin meningkat membuat pemerintah kesusahan membatasi masuknya berita asing. Toh, toleransi pemerintah atas kritik tak pernah teruji karena memang tak ada oposisi yang terorganisasi. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) pun jumlahnya segelintir. Itu pun cuma LSM lokal yang merupakan asosiasi bisnis dan sosial. LSM internasional tak ada yang beroperasi.

Kuatnya pengaruh Sultan dalam pemerintahan didukung Inggris yang punya kepentingan ekonomi besar di Brunei. Bahkan sampai kini, Inggris masih menempatkan pasukan khusus Gurkha Resimen Kedua untuk menjaga istana Sultan. Kekuasaan monarki absolut dinilai mampu memelihara perdamaian, stabilitas, dan kemajuan ekonomi-sosial.

Menurut pemerhati masalah ASEAN, Alfitra Salam, langkah yang hendak ditempuh Sultan Bolkiah tak lain merupakan dampak gelombang reformasi yang mencuat di mana-mana. "Pengaruh eksternal itu membuat Brunei merasa terkucilkan dan menggugahnya untuk menghidupkan kembali sistem parlemen," kata Ahli Peneliti Utama Pusat Studi Politik LIPI itu.

Dorongan itu, menurut Alfitra, juga muncul dari para akademisi yang baru balik dari luar negeri dan kini mengisi kursi birokrasi. Toh, bentuk parlemen itu nanti masih belum jelas. "Bisa saja hanya simbolik dan diisi single majority pendukung eksekutif," katanya. Hal itu mengingat lapisan penguasa isinya kebanyakan berasal dari kalangan keluarga kerajaan sendiri.

Memang, demokrasi di Brunei masih remang-remang. Sultan memang memberi tanda akan melaksanakan rekomendasi yang dikeluarkan oleh komite yang dibentuknya untuk mengkaji ulang UUD 1959. Tapi, ia masih enggan menyerahkan posisi sebagai pemimpin negara. "Adalah tanggung jawab saya sebagai sultan dan kedaulatan untuk membentuk masa depan negara dan memberi kenyamanan kepada warga," katanya. Akankah kemakmuran ampuh meninabobokan hasrat berdemokrasi?

G.A. Guritno dan Julkifli Marbun
http://gatra.icom/2004-07-23/majalah/artikel.php?pil=14&id=42135&crc=-1671817488