Breaking News

Soal Kewenangan Negara dalam Perampasan Aset First Travel, Ini Pendapat Dosen FH Universitas Pancasila, Rocky Marbun

ilustrasi



KEDAIKOPIMARBUN -- Kabar nelangsa harus diterima para jemaah yang menjadi korban penipuan perusahaan perjalanan First Travel. Meski pemilik First Travel divonis hukuman pidana 20 tahun dan 18 tahun penjara, namun seluruh aset perusahaan yang menjadi barang bukti tidak dikembalikan kepada jemaah. Aset-aset tersebut menjadi barang rampasan negara yang artinya tidak dikembalikan kepada jemaah melainkan jadi rampasan negara. (sumber)

Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Depok dan dikuatkan Mahkamah Agung dalam putusan kasasi Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018. Hal ini tentunya mendapat penolakan dari jemaah First Travel. Kuasa hukum korban jamaah First Travel, TM Luthfi Yazid menyesalkan putusan tersebut karena seharusnya korban jemaah First Travel mendapatkan ganti rugi dari aset-aset tersebut. Bahkan, Lutfhi menyatakan perampasan aset oleh negara dengan mengabaikan kepentingan korban jemaah merupakan perbuatan ilegal.

“Lebih dari itu Kajari tahu bahwa aset tersebut bukanlah uang korupsi melainkan uang jemaah. Andaikan uang hasil korupsi adalah benar jika dirampas dan diserahkan kepada negara. Namun ini uang jemaah. Jadi kalau aset FT kemudian dilelang oleh Kajari dan diserahkan kepada negara maka ini namanya ilegal,” jelas Luthfi dalam keterangan persnya.

Selain itu, dia juga menambahkan terdapat Surat Keputusan Menteri Agama No 589 Tahun 2017 yang menyebutkan bahwa seluruh uang jemaah wajib kembali atau diberangkatkan. Sayangnya, SK tersebut sampai saat ini tidak dilaksanakan. Padahal, data diri para korban jemaah First Travel telah diserahkan ke Crisis Center di Bareskrim Mabes Polri yang dibentuk Kementerian Agama, Mabes Polri dan Otoritas Jasa Keuangan.

“SK Menteri Agama menyebutkan bahwa uang jemaah harus dikembalikan seluruhnya atau jemaah diberangkatkan. Tapi Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin saat itu yang mewakili Presiden RI keputusannya hanya seperti “macan ompong,” tambah Luthfi.

Dia juga membandingkan permasalahan First Travel ini dengan kasus lain seperti Lumpur Lapindo dan Bank Century. Dalam dua kasus tersebut, negara turut campur dalam memberikan dana kepada para korban.

Dia mengusulkan agar pemerintah tetap memberatkan para korban salah satunya dengan cara bernegosiasi dengan pemerintah Arab Saudi agar memberikan bantuan atau keringanan dalam penginapan jemaah, keringanan visa, transportasi hingga tiket pesawat. Dia mendorong agar instansi pemerintah terkait seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Keuangan dan Kejaksaan Agung dapat mencari solusi kerugian jemaah.

“Para pemangku jabatan yang memiliki otoritas dapat duduk bersama untuk mencarikan solusi atas persoalan ini agar tidak berlarut-larut dan agar tidak terulang. Jangan biarkan keresahan mereka meluas dan kepercayaan kepada pemerintah makin tergerus,” pungkasnya.

Lantas seperti apa dasar hukumnya?

Dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan fakta hukum di persidangan ternyata Pengurus Pengelola Asset Korban First Travel menyampaikan surat dan pernyataan penolakan menerima pengembalian barang bukti tersebut. Kemudian, bahwa sebagaimana fakta di persidangan, barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para Terdakwa dan disita dari para Terdakwa yang telah terbukti selain melakukan tindak pidana Penipuan juga terbukti melakukan tindak pidana Pencucian Uang. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk Negara.

Negara memang memiliki dasar hukum untuk merampas aset First Travel menjadi milik negara. Namun, negara dianggap tidak punya hak atas aset tersebut karena sumbernya dari uang para korban jemaah. Bahkan, masyarakat yang jadi korban penipuan First Travel tersebut dapat menggugat negara. Hal ini disampaikan ahli hukum pidana dan dosen FH Universitas Pancasila, Rocky Marbun.

“Secara substantif, negara tidak punya hak atas uang tersebut. Masyarakat yang menjadi korban bisa menggugat negara,” jelas Rocky saat dihubungi Hukumonline, Jumat (15/11).

Dia juga mengusulkan agar negara bernegosiasi sehingga para korban bisa mendapatkan ganti rugi. Selain itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga dapat berperan sebagai mediator antara negara dengan para korban. “Karena sebagai korban tindak pidana toh oleh UU Perlindungan Saksi dan Korban pula diberikan hak untuk memperoleh kompensasi dan atau restitusi,” jelas Rocky.