Breaking News

Humuntar Lumban Gaol

Penggagas Dewan Beras


Dia tak pernah pensiun memikirkan nasib petani. Di masa pensiun sebagai pejabat pemerintah, ia malah makin giat memimpin usaha dalam bidang pertanian. Dalam kondisi ketahanan pangan yang sedang goyah akhir-akhir ini, Humuntar bersama dengan para pensiunan yang lain, menggagas pendirian Dewan Beras.

Humuntar demikian dekat dengan petani. Karena selama 35 tahun bekerja sebagai PNS, dia aktif dalam upaya meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani. Materi, tak lagi terlalu dikejarnya.

Ia sudah pensiun dari Pegawai Negeri Golongan Pembina Madya/IV E. Keenam anaknya pun sudah ‘mentas’ dan semuanya telah menyandang gelar sarjana. Tapi, Ir. Humuntar Lumban Gaol, bukan tipe orang yang cepat puas dengan kesuksesan, jika hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Berbincang-bincang dengan pria kelahiran Tapanuli, 8 Januari 1938 ini demikian terasa hangat. Bukan saja karena sosoknya yang suka bercanda, tapi juga keterbukaan dan gaya bicaranya yang blak-blakan sehingga siapa saja akan lebih mudah berkomunikasi. Pengalaman panjangnya sebagai mantan pegawai pemerintah yang tahu betul bagaimana mengatasi masa-masa krisis pangan di negara ini selalu dibawanya.

Humuntar mengawali kariernya sebagai Staf Produksi BPU, Perusahaan Perkebunan Dwikora, Sumatra Barat pada tahun 1965, setahun setelah ia lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sesuai dengan ilmunya di bidang pertanian, karier yang dirintisnya dari bawah tak jauh dari disiplin ilmu yang ditekuninya.

Ia pernah duduk sebagai Official masalah-masalah BIMAS, pengadaan beras, Tim PL-480 oleh Mneteri Keuangan. Kemudian pernah juga menjadi Direktur Urusan Pangan dan Penerimaan Bukan Pajak, Direktorat Jenderal Monitor Dalam Negeri, Departemen Keuangan. Kemudian setelah diperbantukan sebagai Staff Ahli Kepala Sekretariat Pengendalian Operasi Pembangunan, ia diangkat sebagai Inspektur Jendral Pembangunan Bidang Pembangunan Desa Tahun 1994. Masa tugasnya berakhir pada tanggal 8 Januari 1998, ketika usianya menginjak 60 tahun.

Pengalaman panjang itulah yang kini dijadikannya sebagai pijakan untuk menyumbangkan saran dan masukan kepada pemerintah dalam upaya penegakkan pangan nasional. Mengingat kesuksesan masa lalu, pria enam anak ini yakin upayanya bakal membuahkan hasil. Saat ia menjabat sebagai Asisten III Menko Ekuin dan Pengawasan Bidang Produksi, Distribusi dan Kependudukan, tahun 1984 saat itu pula negara ini berhasil membuat swasembada pangan. “Kita bisa surplus beras pada saat itu. Sehingga Pak Harto (presiden Soeharto-red) kala itu mendapat penghargaan dari FAO,” ujarnya mengenang. Surplus beras itu terjadi menurut Humuntar, karena pada waktu itu konsentrasi pemerintah fokus pada kemajuan produksi masyarakat tani.

Namun kini, ia melihat pemerintah mulai bergeser fokusnya tidak lagi pada bidang pertanian. Sekarang ini mulai masuk industri manufacture, sehingga seolah-olah petani mulai dilupakan.

Rintis Dewan Beras

Sebagai orang yang sudah ‘tidak menjabat’ lagi, Humuntar praktis sebagai penonton. Namun, karena bertahun-tahun ‘permainannya’ di bidang beras dan petani sebagai mitra kerjanya, maka ia sebagai penonton yang kritis. Ketika ketahanan pangan negara ini sedang dalam masa krisis, pemerintah melalui tangan Bulog tetap memilih untuk impor beras dari luar negeri.

Humuntar menyaksikan pergunjingan terhadap kebijakan impor beras tersebut ada yang pro dan ada yang kontra. Ia juga melihat adanya ‘kecurigaan’ di sana-sini, sampai-sampai ada team dari DPR yang menginteli proses impor ini hingga Vietnam. Para politisi mulai gonjang-ganjing soal beras.

Melihat ini semua, ia mengaku prihatin. Apalagi ketika semua orang berbicara masalah beras, petani malah dilupakan. Pupuk langka sehingga harganya kian tak terjangkau. Belum lagi banyak petani gagal panen karena bencana banjir dan longsor. Akibatnya, harga beras naik tak terbendung. Bukan saja petani yang terpukul, masyarakat pun semakin terpuruk. Hingga di negeri gemah ripah loh jinawi ini, muncul kelaparan dan gizi buruk. Yang tidak bisa lagi mengkonsumsi beras, kini makan nasi aking bahkan tiwul dari singkong.

Sebagai orang yang merasa pernah merintis, menyusun konsep dan strategi, membangun sarana dan pra sarana untuk penegakkan ketahan pangan negara, hati Humuntar kembali ‘tersentuh’ untuk segera turut berbuat. “Saya lalu mengajak teman-teman untuk membuat suatu lembaga dewan pangan,” katanya.

Tak tanggung-tanggung. Semua elemen dirangkulnya. Ada dari kalangan politisi, pemerintah, pakar-pakar dari berbagai disiplin ilmu, kemudian juga merangkul dari kalangan petani. Padahal di antara mereka pro dan kontra itu datang. “Memang saya mengumpulkan orang-orang yang sedang berselisih itu. Biarlah kita berantem dalam satu forum. Kita boleh saling maki-makian, tapi saya berharap setelah keluar nanti akan keluar satu pendapat,” lanjutnya.

Dengan cara itu, Humuntar setidaknya berharap agar mereka tidak perlu terlalu banyak bicara, tapi berbuat. Lebih jauh lagi, suami Mari Siregar ini berfikir, 60 hingga 65% rakyat, kehidupannya tergantung dari beras. Produksi beras, ini kaitan antara petani, pengusaha pupuk, pengusaha bibit, transportasi, pergudangan, lalu pedagang. Banyak elemen yang terlibat dalam komoditi beras. Jika elemen komoditi ini terganggu kehidupannya, maka ekonomi akan terganggu bahkan bisa hancur. Namun sebaliknya, jika elemen masyarakat ini semakin membaik, masyarakat akan tenang, sehingga daya beli meningkat.

Dewan beras itu kini sedang dirintisnya, bersama dengan Siswono Yudhohusodo, Didik Rachbini (ekonom dan anggota DPR), Beni Pasaribu, dan lain-lain. Kemudian nanti akan dibuat lagi Dewan Beras di tingkat Propinsi dan kabupaten-kabupaten. Kendati program-programnya belum dirumuskan secara detail, pria yang hobi membaca ini mengaku optimis, upayanya akan membuahkan hasil, apalagi didukung sistem otonomi daerah.

Obsesinya

Humuntar memang tak pernah mau diam. Ia sadar, sebagai seorang pensiunan ia tak bisa menyalurkan pikiran-pikirannya. Namun, ia pun tak mau bernostalgia dengan kejayaan masa lalu. “Saya selalu melihat ke depan. Namun, pengalaman masa lalu sebagai referensi untuk maju di masa depan.”

Pria yang sudah berjiwa entrepreneur sejak kuliah ini mengakui, masih banyak orang pintar yang berpengalaman, yang kini sudah pensiun. Tapi, pengalaman dan pengetahuan mereka setelah tidak menjabat apa-apa, tidak ada yang mendengar dan memanfaatkan lagi. Sehingga ia merasa perlu memberi ‘wadah’ untuk mereka bisa berkiprah lagi membangun bangsa ini.

Berjuta-juta mimpi dan cita-cita yang digantungkannya setinggi langit, akan berupaya untuk diwujudkannya. Namun, sebagai seorang Kristen Protestan yang taat, Humuntar percaya hanya Tuhan yang bisa menentukan. “Jadi, saya tidak akan merasa kecewa atau kesal jika saya sudah berupaya tapi tak jua saya dapatkan. Yang sudah saya dapatkan itu saya anggap sebagai hasil dari kemampuan yang saya miliki.” ujarnya lirih.