Breaking News

BN MARBUN, Karena Gaji Kecil Tidak Jadi Diplomat

Sumber: http://www.binaswadaya.org

What can I do for you?” itulah kata-kata pertama yang diucapkan Benedictus Nahot Marbun sambil mengulurkan tangannya menyambut kedatangan INFO. Ketika ditanya, mengapa setelah belajar hukum dan politik internasional di Jerman malah terus banting stir ke profesi manajemen, pria tinggi besar yang lebih akrab dipanggil “Ben” itu menjawab, “Saya memang bercita-cita menjadi diplomat sepulang dari Jerman awal tahun 1969, namun urung masuk ke Deplu karena gajinya kecil. Akhirnya saya pilih bergabung dengan Institut Pembinaan dan Pendidikan Manajemen (IPPM)”.

Selama 25 tahun (1971 – 1996) ia menjadi staf profesional di IPPM. Posisi yang pernah dipegangnya mulai dari Public Relations, bagian penerbitan, staf pengajar, bahkan direktur. Kini dalam semangat yang masih tinggi di usia kepala enam, Ben bergabung dalam jajaran pengurus Yayasan Bina Swadaya setelah sebelumnya menjadi konsultan yang mengawal proses transformasi lembaga kita.

Sebagai anak bungsu yang dilahirkan dari keluarga Tapanuli Utara dengan pendidikan dan kondisi keuangan yang cukup, Ben kecil diramalkan ayahnya bakal keliling dunia dan tidak akan hidup susah. Ramalan sang ayah terbukti. Ben telah berkeliling Indonesia dan dunia. Hanya Amerika Latin saja yang belum ditapakinya. “Saya akan menuliskan perjalanan saya ke Siberia tak lama lagi”, imbuhnya. Siberia merupakan wilayah penting Uni Soviet (kini Republik Federasi Rusia) di Asia yang dikenal sebagai penghasil gandum, ternak, kayu, berbagai jenis ikan, serta menjadi salah satu pusat industri logam dan aneka tambang.

Hobi melakukan perjalanan telah cukup terpuaskan dan itu bukan semata-mata karena ia senang jalan-jalan atau pintar berbahasa asing. Itu dimungkinkan, karena selain menyandang profesi konsultan manajemen dan penulis, Ben pernah menjadi politisi dan aktif di Komnas HAM. Sebagai gambaran, Ben Marbun pernah menjadi anggota DPRD DKI Jakarta (1977-1982), DPR (1987-1997), dan 10 tahun di Komnas HAM (1993-2004). Ben yang juga jago menulis, tak kurang telah menulis dan menyunting 15 judul buku.

Menyoal tantangan yang dihadapi Bina Swadaya (BS), pakar manajemen dengan kekhususan general management dan strategic management ini memaparkan, setidaknya ada tiga hal yang perlu dicermati. Pertama, independensi BS akan terganggu apabila secara finansial masih bergantung pada pihak luar. Kedua, cita-cita BS sebagai sahabat orang miskin tidak bisa dicapai hanya dengan berangan-angan, melainkan harus ditopang pula oleh sumber daya pendanaan, sumber daya manusia (SDM), dan perencanaan. Ketiga, regenerasi perlu disiapkan secara terencana.

Menurutnya, dari segi keuangan, PT-PT adalah breadwiener (pemberi makan) dan lumbung bagi BS. Breadwiener dan lumbung ini harus dijaga dan dirawat dengan baik agar kegiatan lainnya tetap berjalan. Menyinggung perencanaan strategis, perlu ada kesiapan mental dari pimpinan, bahwa menghadapi tantangan ke depan harus ada change of mind (perubahan pola pikir). Kedua, perlu mengakses wilayah kegiatan dan ini harus melihat ”where we are now, where we want to go, and how to go there”. Termasuk perlunya membuat perencanaan yang tertib dan dalam konteks inilah sebenarnya pelatihan Minaut diselenggarakan beberapa kali difasilitasi oleh yayasan. Ben juga menilai BS belum memiliki grand-strategy yang jelas untuk merealisasikan visi-misi lembaga. Yang sering dilakukan adalah perubahan struktur. Mencermati kondisi ini Ben mengatakan, “Perlu penyederhanaan struktur, dan tidak membentuk struktur baru kecuali setelah dikaji secara mendalam.”

Sekadar catatan, merujuk keputusan pengurus telah dilakukan penyederhanaan struktur BS menjadi 3 bidang. Pertama, Bidang Pemberdayaan Masyarakat Warga (meliputi Pusdiklat, Pusat kajian dan Pengembangan, dan PT. Bina Swadaya Konsultan; guswil-guswil merupakan bagian dari PKP). Kedua, Bidang Pengembangan Keuangan Mikro dimana BPR dan kantor-kantor cabang dengan model ASA termasuk didalamnya. Ketiga, Bidang Pengembangan Agribisnis dan Komunikasi Pembangunan yang membawahi PT-PT lainnya. Strategi pengelompokan ini dimaksudkan agar koordinasi lebih mudah dan mendorong berkembangnya kultur kelompok/bidang secara sinergis dan sistematis. Keterpaduan ini penting, agar kompleksitas persoalan yang dihadapi dapat diurai dan diselesaikan tanpa terjebak keruwetan baru.

Ikhwal regenerasi dan suksesi di BS, pria yang bermotto “do your best” ini menilai kualitas SDM BS dan gugus-gugusnya not the best but not the bad (bukan yang terbaik, tidak buruk pula). Kelemahannya, antara lain terletak pada sistem rekrutmen, khususnya tentang kriteria dan deskripsi pekerjaan yang belum mantap. Ia juga mencontohkan persoalan yang terjadi di lingkungan guswil dan BPR, yaitu tidak adanya aturan yang jelas dari atasan serta belum adanya orang perbankan dalam kepengurusan yayasan (mulai tahun 2005 sudah ada-red). Mengenai kaderisasi di lingkungan BS, Ben cenderung mengutamakan prinsip promotion within (promosi dari dalam).

Menjawab pertanyaan tentang masa depan BS, Ben berharap, kondisi direktorat dan gugus-gugus kegiatan sudah mantap pada tahun 2005. “Saya mempunyai impian BS masih bisa bertahan setidaknya hingga generasi ketiga,” tandasnya sambil tersenyum. Kini setelah bergulat dengan berbagai aktivitas serta meraih kesuksesan karier dan keluarga, Pak Ben lebih ingin memusatkan diri pada kegiatan sosial. (sigit, amin)