Country Road
Salah satu cara menikmati saat-saat berharga di sebuah kampung yang tidak mempunyai jaringan telepon dan siaran televisi aalah dengan berkeliling seantero desa untuk menikmati pemandangan alam.
Sebisa mungkin menggerakkan badan agar kebosanan tidak mempunyai banyak waktu untuk berlama-lama dalam raga kita. Hal itulah yang aku lakukan selama liburan sekolah semasa masih sekolah dulu.
Pulang ke Pakkat, calling teman, buat rencana dan siapkan motor. Itulah yang menjadi tahapannya. Satu hal yang tidak boleh lupa adalah, membawa persediaan bensin. Karena di perkampungan yang termasuk pedalaman, tidak akan ada ditemukan orang berjualan apalagi itu berjualan bensin. Boro-boro ada SPBU.
Perjalanan kami kali ini adalahke daerah Napa Horsik, Sihorbo Tanjung yang melewati Aek Riman. Rute Pakkat-Tarabintang dan Pakkat-Parlilitan sudah terlalu sering kami lalui. Bisa dibilang rute tersebut sudah tidak asing lagi bersama kami. So, Rute Pakkat Napa Horsik adalah tantangan baru.
Perjalanan dari Pakkat ke Aek Riman tidak mendapat banyak masalah. Karena kita hanya dituntut untuk mengindari lobang-lobang dan kubangan air yang jalanan yang beraspal. Pemberhentian kami tentunya adalah di mesjid. Pertama di mesjid Silailai, yang kedua adalah mesjid Hutambasang yang keduanya merupakan mesjid tertua.
Di mesjid Silailai, nazir mesjidnya adalah bermarga Nasution yang menjadi PNS guru agama Islam di sebuah sekolah dasar negeri. Dia mempunyai menantu orang Cina yang sudah membeli marga, dan teman masa kecilku. Namanya; Mangada. Saya lupa nama cinanya. Waktu kecil aku mempunyai empat teman cina dari dua keluarga. Yang pertama adalah Mangada dan Ganda keduanya kakak beradik dan sekolah di SD Santa Maria Pakkat, dan yang lain Zuneidi dan Zulkifli Simanjuntak yang menjadi teman sekelasku di SD negeri I Pakkat.Zuneidi dan Zulkifli masih menggunakan bahasa cina di rumah mereka.
Mereka mempunyai pabrik pembuatan batu-bata di Sitahuis dekat dengan air terjun yang bernama Salippoppot. Satu-satunya pabrik pembuatan batu bata di Pakkat. Keduanya kembar tapi tidak akur satu sama lain. Zuneidi orangnya sangat terbuka dan benar-benar friendly sementara Zulkifli yang matanya lebih sipit sangat tertutup dan lebih cengeng.
Di Pakkat sendiri, terdapat banyak keluarga cina yang telah menyatu dengan penduduk setempat. Kebanyakan mereka mengambil marga Simanjuntak. Katanya sih, mereka pindahan dari Barus, pusat ekonomi regional sejak dahulu kala. Lucunya, ada lagi salah satu dari mereka bernama Zulkifli. Sehingga bila ditotal ada empat Zulkifli saat itu di Pakkat.
Satu Zulkifli Simanjuntak, cina kembaran Zuneidi. Satu lagi Zulkifli Simanjuntak, orang cina yang tinggal di kompleks PLN. Satu lagi Zulkifli anak Tukang Matobbuk (Bengkel) yang asli batak dan Protestan serta yang terakhir aku yang bermarga marbun, tentu aseli batak.
Tempat persinggahan kedua kami adalah mesjid Hutambasang. Alasan kami menggunakan mesjid sebagai persinggahan adalah bahwa disitu kami bisa menemukan air untuk sekedar mencuci muka dari terik matahari. Cuaca di Pakkat yang pegunungan memang sering berubah-ubah. Di waktu malam anginnya akan sangat dingin sekali karena memang di pegunungan. Sementara di siang hari akan sangat terik dan panas, karena dari sebelah barat meluncur angin lautan samudera hindia yang memang sudah dekat.
Mesjid Hutambasang, yang mempunyai sumber air wudhu abadi mata air, adalah mesjid yang paling aktif di Pakkat. Hal itu dikarenakan banyak warganya yang memang menguasasi dan hobbi dengan kegiatan keagamaan. Generasi mudanya yang merantau di negeri jauh juga akan menggunakan waktu senggang mereka di kampung untuk menghidupkan suasana mesjid. Namun sayangnya, dulu hampir semua warga Hutambasang adalah Muslim. Tapi, karena terjadi perselisihan antar pengurus mesjid yang tidak berkesudahan maka masyarakatpun terpecah dan sebagian ada yang memutuskan untuk pindah agama.
Hutambasang dari dulu adalah pemasok buah-buahan dan ternak kerbau ke Pakkat. Sekarang ini, selain tanaman padi, masyarakat lebih cenderung untuk berkebun kelapa sawit. Generasi perantau dari Hutambasang banyak yang sukses di perantauan. Kebanyakan mereka hidup makmur. Ada yang bekerja di Bank, PNS, paspampres, pengusaha dan lain sebagainya. Bila hari libur perantauan datang. Maka akan kelihatan mobil-mobil mewah berkeliaran di Hutambasang dengan plat Jakarta dan luar Sumut.
Sebelum meninggalkan Hutambasang menuju Aek Riman, kami singgah di sebuah musholla kecil dekat dengan pancuran (tempat mandi umum). Musholla tersebut sangat unik, digunakan oleh para musafir dan saudagar yang melintasi Hutambasang menuju onan Pakkat, Barus dan lain sebagainya sejak zaman kuno. Berukuran 2 X 2 meter dengan atap seng, yang cukup untuk beberapa orang saja untuk melakukan sembahyang atau sekedar merentangkan kaki.
Pejalanan kami teruskan ke Aek Riman yang saat itu sedang onan (ada pasar mingguan). Di sana kami sempatkan untuk makan minum serta membeli sandal. Kami harus mengisi bensin kembali. Perjalanan dari Aek Riman ke Si Horbo tanjung akan sangat berat karena saat itu, belum ada aspal yang menghubungkan kedua daerah tersebut. Yang ada hanya jalan setapak dan melewati persawahan pegunungan yang turun naik.
Dulu, katanya jalan tersebut dapat dilalui oleh mobol jeep Belanda yang ingin melakukan patroli. Namun sayang, jalan tersebut tidak terawat dan batu-batuan jalanan telah terkikis, sehingga praktis jalan hanya tanah merah, yang akan menjadi lumpur bila hari hujan.
Tentu perjalan semakin mengasikkan dan sangat menantang. Dibuntuhkan keahlian tertentu untuk mengontrol agar motor yang kita bawa tidak oleng ke jurang. Naik tebing yang terjal menuruni bukit yang penuh dengan semak. Tiba-tiba ada jalan turunan yang sangat terjal.
Motor kami melaju dengan cepat dan tidak bisa diperlambat. Salah satunya cara adalah dengan tetap mengontrolnya agar tidak oleng ke kiri dan ke kanan. Jalan tersebut tiba-tiba menaik dengan tajam. Hanya saja kami tidak sadar antar jalan menurun dan menuik tersebut terdapat sebuah sungai, yang karena semak belukar tidak dapat kami lihat dari atas.
Saya terkejut, dan secara otomatis mengerem sekuat tenaga motor tersebut. Tapi apa dikara, ban belakang motor malah naik bersama dengan teman boncengan saya. Kami terjungkal dan terjatuh kesungai yang dalamnya kira-kira satu setengah meter. Posisi motor yang diatas dan kami yang terjepit dibawah membuat kami kesulitan untuk bangkit.
Kalau seandainya panik, mungkin kami sudah terperangkat di bawah motor tersebut. Saya bergerak sedikit demi sedikit dan berhasil bangkit berdiri. Setelah mengambil nafas sedikit ke permukaaan air, saya membantu teman yang masih terjepit di bawah motor. Anehnya, karena panik atau ketakutan, dia hanya melentang dan tidak berbuat apa-apa.
Di dalam air, berat motor lebih ringan dari di daratan. Sehingga saya berhasil mengangkatnya dari tubuh teman saya tersebut. Diapun mengambil nafas dan kami berdua berusaha menyeret motor ke daratan.
Saya memeriksa kalau-kalau ada luka dalah tubuhku. Aneh, tidak ada luka. Hanya sedikit pegal di paha dan perih di jari. Sementara temanku juga tidak ada apa-apa. Tapi cincinnya hilang. Ternyata tadi sebelum jatuh dia sempat berpegangan dengan pohon bambu di pinggir sungai.
Saat aku melihat bambunya, darahku mendidih. Ternyata kami telah lepas dari mauty yang akan merenggut nyawa. Beberapa pohon bambu tersebut ternyata sudah terpotong runcing. Beruntung motor kami terjun langsung ke sungai dengan ketinggaian dua meter dari bibir tebing. Kalau tidak, bila saja kami tersangkut dibambu. Maka perut dan dada kami bisa tembus dengan bambu tersebut.
Saya lalu mengajaknya untuk menyelam ke dasar sungai yang ternih tersebut. Moga-moga kami dapat mencari cincin suasanya kembali. Namun setelah setengah jam mencari, kami juga tidak menemukannya.
Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Karena bila memilih untuk pulang, sudah sangat tidak mungkin. Hari sudah sore, sementara kami sudah telalu jauh dari Aek Riman.
Beruntung, dengan mengeringkan dan melap motor sebentar. Motor honda cb tersebut masih tetap bisa dihidupkan.
Kami meneruskan perjalana ke Si Horbo Tanjung, sebuah desa yang dulu terdengar sebagai pusat peternakan kerbau. Dengan tempat penggembalaan kerbau alami paling baik. Pada idul adha, kerbau-kerbau tersebut akan disupplai ke seantero negeri.
Tapi sekarang genasi muda lebih memilih merantau dari pada menruskan tradisi. Tiap keluarga yang dahulu mempunyai ratusan ternak kerbau, sekarang sudah menyusut karena banyak yang dijual untuk biaya perjalanan perantauan anaknya.
Sapai juga kami ke tempat tujuan. Sebuah desa yang sunyi dan bertempat di antara dua pegunungan. Udaranya sejuk dan mata airnya yang sangat jernih. Saya sedih, dengan jumlah penduduk yang sedikit dan jumlah muslim yang lebih sedikit pula, di sini, terdapat dua mesjid dan satu madrasah ibtidaiyah swasta yang terbuat dari kayu.
Katanya dua mesjid tersebut, ada karena masyarakatnya juga terbelah karena perselisihan antar pengurus mesjid. Hanya saja pihak yang kalah tidak melakukan shifting keyakinan. Tapi membangun mesjid yang terpisah.
Sebisa mungkin menggerakkan badan agar kebosanan tidak mempunyai banyak waktu untuk berlama-lama dalam raga kita. Hal itulah yang aku lakukan selama liburan sekolah semasa masih sekolah dulu.
Pulang ke Pakkat, calling teman, buat rencana dan siapkan motor. Itulah yang menjadi tahapannya. Satu hal yang tidak boleh lupa adalah, membawa persediaan bensin. Karena di perkampungan yang termasuk pedalaman, tidak akan ada ditemukan orang berjualan apalagi itu berjualan bensin. Boro-boro ada SPBU.
Perjalanan kami kali ini adalahke daerah Napa Horsik, Sihorbo Tanjung yang melewati Aek Riman. Rute Pakkat-Tarabintang dan Pakkat-Parlilitan sudah terlalu sering kami lalui. Bisa dibilang rute tersebut sudah tidak asing lagi bersama kami. So, Rute Pakkat Napa Horsik adalah tantangan baru.
Perjalanan dari Pakkat ke Aek Riman tidak mendapat banyak masalah. Karena kita hanya dituntut untuk mengindari lobang-lobang dan kubangan air yang jalanan yang beraspal. Pemberhentian kami tentunya adalah di mesjid. Pertama di mesjid Silailai, yang kedua adalah mesjid Hutambasang yang keduanya merupakan mesjid tertua.
Di mesjid Silailai, nazir mesjidnya adalah bermarga Nasution yang menjadi PNS guru agama Islam di sebuah sekolah dasar negeri. Dia mempunyai menantu orang Cina yang sudah membeli marga, dan teman masa kecilku. Namanya; Mangada. Saya lupa nama cinanya. Waktu kecil aku mempunyai empat teman cina dari dua keluarga. Yang pertama adalah Mangada dan Ganda keduanya kakak beradik dan sekolah di SD Santa Maria Pakkat, dan yang lain Zuneidi dan Zulkifli Simanjuntak yang menjadi teman sekelasku di SD negeri I Pakkat.Zuneidi dan Zulkifli masih menggunakan bahasa cina di rumah mereka.
Mereka mempunyai pabrik pembuatan batu-bata di Sitahuis dekat dengan air terjun yang bernama Salippoppot. Satu-satunya pabrik pembuatan batu bata di Pakkat. Keduanya kembar tapi tidak akur satu sama lain. Zuneidi orangnya sangat terbuka dan benar-benar friendly sementara Zulkifli yang matanya lebih sipit sangat tertutup dan lebih cengeng.
Di Pakkat sendiri, terdapat banyak keluarga cina yang telah menyatu dengan penduduk setempat. Kebanyakan mereka mengambil marga Simanjuntak. Katanya sih, mereka pindahan dari Barus, pusat ekonomi regional sejak dahulu kala. Lucunya, ada lagi salah satu dari mereka bernama Zulkifli. Sehingga bila ditotal ada empat Zulkifli saat itu di Pakkat.
Satu Zulkifli Simanjuntak, cina kembaran Zuneidi. Satu lagi Zulkifli Simanjuntak, orang cina yang tinggal di kompleks PLN. Satu lagi Zulkifli anak Tukang Matobbuk (Bengkel) yang asli batak dan Protestan serta yang terakhir aku yang bermarga marbun, tentu aseli batak.
Tempat persinggahan kedua kami adalah mesjid Hutambasang. Alasan kami menggunakan mesjid sebagai persinggahan adalah bahwa disitu kami bisa menemukan air untuk sekedar mencuci muka dari terik matahari. Cuaca di Pakkat yang pegunungan memang sering berubah-ubah. Di waktu malam anginnya akan sangat dingin sekali karena memang di pegunungan. Sementara di siang hari akan sangat terik dan panas, karena dari sebelah barat meluncur angin lautan samudera hindia yang memang sudah dekat.
Mesjid Hutambasang, yang mempunyai sumber air wudhu abadi mata air, adalah mesjid yang paling aktif di Pakkat. Hal itu dikarenakan banyak warganya yang memang menguasasi dan hobbi dengan kegiatan keagamaan. Generasi mudanya yang merantau di negeri jauh juga akan menggunakan waktu senggang mereka di kampung untuk menghidupkan suasana mesjid. Namun sayangnya, dulu hampir semua warga Hutambasang adalah Muslim. Tapi, karena terjadi perselisihan antar pengurus mesjid yang tidak berkesudahan maka masyarakatpun terpecah dan sebagian ada yang memutuskan untuk pindah agama.
Hutambasang dari dulu adalah pemasok buah-buahan dan ternak kerbau ke Pakkat. Sekarang ini, selain tanaman padi, masyarakat lebih cenderung untuk berkebun kelapa sawit. Generasi perantau dari Hutambasang banyak yang sukses di perantauan. Kebanyakan mereka hidup makmur. Ada yang bekerja di Bank, PNS, paspampres, pengusaha dan lain sebagainya. Bila hari libur perantauan datang. Maka akan kelihatan mobil-mobil mewah berkeliaran di Hutambasang dengan plat Jakarta dan luar Sumut.
Sebelum meninggalkan Hutambasang menuju Aek Riman, kami singgah di sebuah musholla kecil dekat dengan pancuran (tempat mandi umum). Musholla tersebut sangat unik, digunakan oleh para musafir dan saudagar yang melintasi Hutambasang menuju onan Pakkat, Barus dan lain sebagainya sejak zaman kuno. Berukuran 2 X 2 meter dengan atap seng, yang cukup untuk beberapa orang saja untuk melakukan sembahyang atau sekedar merentangkan kaki.
Pejalanan kami teruskan ke Aek Riman yang saat itu sedang onan (ada pasar mingguan). Di sana kami sempatkan untuk makan minum serta membeli sandal. Kami harus mengisi bensin kembali. Perjalanan dari Aek Riman ke Si Horbo tanjung akan sangat berat karena saat itu, belum ada aspal yang menghubungkan kedua daerah tersebut. Yang ada hanya jalan setapak dan melewati persawahan pegunungan yang turun naik.
Dulu, katanya jalan tersebut dapat dilalui oleh mobol jeep Belanda yang ingin melakukan patroli. Namun sayang, jalan tersebut tidak terawat dan batu-batuan jalanan telah terkikis, sehingga praktis jalan hanya tanah merah, yang akan menjadi lumpur bila hari hujan.
Tentu perjalan semakin mengasikkan dan sangat menantang. Dibuntuhkan keahlian tertentu untuk mengontrol agar motor yang kita bawa tidak oleng ke jurang. Naik tebing yang terjal menuruni bukit yang penuh dengan semak. Tiba-tiba ada jalan turunan yang sangat terjal.
Motor kami melaju dengan cepat dan tidak bisa diperlambat. Salah satunya cara adalah dengan tetap mengontrolnya agar tidak oleng ke kiri dan ke kanan. Jalan tersebut tiba-tiba menaik dengan tajam. Hanya saja kami tidak sadar antar jalan menurun dan menuik tersebut terdapat sebuah sungai, yang karena semak belukar tidak dapat kami lihat dari atas.
Saya terkejut, dan secara otomatis mengerem sekuat tenaga motor tersebut. Tapi apa dikara, ban belakang motor malah naik bersama dengan teman boncengan saya. Kami terjungkal dan terjatuh kesungai yang dalamnya kira-kira satu setengah meter. Posisi motor yang diatas dan kami yang terjepit dibawah membuat kami kesulitan untuk bangkit.
Kalau seandainya panik, mungkin kami sudah terperangkat di bawah motor tersebut. Saya bergerak sedikit demi sedikit dan berhasil bangkit berdiri. Setelah mengambil nafas sedikit ke permukaaan air, saya membantu teman yang masih terjepit di bawah motor. Anehnya, karena panik atau ketakutan, dia hanya melentang dan tidak berbuat apa-apa.
Di dalam air, berat motor lebih ringan dari di daratan. Sehingga saya berhasil mengangkatnya dari tubuh teman saya tersebut. Diapun mengambil nafas dan kami berdua berusaha menyeret motor ke daratan.
Saya memeriksa kalau-kalau ada luka dalah tubuhku. Aneh, tidak ada luka. Hanya sedikit pegal di paha dan perih di jari. Sementara temanku juga tidak ada apa-apa. Tapi cincinnya hilang. Ternyata tadi sebelum jatuh dia sempat berpegangan dengan pohon bambu di pinggir sungai.
Saat aku melihat bambunya, darahku mendidih. Ternyata kami telah lepas dari mauty yang akan merenggut nyawa. Beberapa pohon bambu tersebut ternyata sudah terpotong runcing. Beruntung motor kami terjun langsung ke sungai dengan ketinggaian dua meter dari bibir tebing. Kalau tidak, bila saja kami tersangkut dibambu. Maka perut dan dada kami bisa tembus dengan bambu tersebut.
Saya lalu mengajaknya untuk menyelam ke dasar sungai yang ternih tersebut. Moga-moga kami dapat mencari cincin suasanya kembali. Namun setelah setengah jam mencari, kami juga tidak menemukannya.
Kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Karena bila memilih untuk pulang, sudah sangat tidak mungkin. Hari sudah sore, sementara kami sudah telalu jauh dari Aek Riman.
Beruntung, dengan mengeringkan dan melap motor sebentar. Motor honda cb tersebut masih tetap bisa dihidupkan.
Kami meneruskan perjalana ke Si Horbo Tanjung, sebuah desa yang dulu terdengar sebagai pusat peternakan kerbau. Dengan tempat penggembalaan kerbau alami paling baik. Pada idul adha, kerbau-kerbau tersebut akan disupplai ke seantero negeri.
Tapi sekarang genasi muda lebih memilih merantau dari pada menruskan tradisi. Tiap keluarga yang dahulu mempunyai ratusan ternak kerbau, sekarang sudah menyusut karena banyak yang dijual untuk biaya perjalanan perantauan anaknya.
Sapai juga kami ke tempat tujuan. Sebuah desa yang sunyi dan bertempat di antara dua pegunungan. Udaranya sejuk dan mata airnya yang sangat jernih. Saya sedih, dengan jumlah penduduk yang sedikit dan jumlah muslim yang lebih sedikit pula, di sini, terdapat dua mesjid dan satu madrasah ibtidaiyah swasta yang terbuat dari kayu.
Katanya dua mesjid tersebut, ada karena masyarakatnya juga terbelah karena perselisihan antar pengurus mesjid. Hanya saja pihak yang kalah tidak melakukan shifting keyakinan. Tapi membangun mesjid yang terpisah.