Breaking News

Bantalan Menjepit Nasib

KESEHATAN
MALPRAKTEK
Bantalan Menjepit Nasib

Diduga karena malpraktek, pasien di Rumah Sakit Pusat Pertamina jadi cacat permanen. Ia melaporkan sang dokter ke polisi.

ABDUL Ghofar pasrah. Pria berusia 55 tahun asal Temanggung, Jawa Tengah, itu tidak bisa lagi melakukan aktivitas rutin seperti sediakala. Jangankan melakoni pekerjaan yang menuntut kekuatan otot dan mobilitas tinggi, untuk jongkok saja ia tidak kuasa. "Sakitnya bukan main," kata bapak tiga anak ini. Bisa saja Ghofar memaksakan diri, ketika salat misalnya. Tetapi kemampuannya berjongkok tidak lebih dari tiga menit.

Yang membuat warga Griya Bintara Indah, Bekasi, ini lebih menderita adalah gangguan pencernaan dan metabolisme tubuh. Buang air besar dan air kecil tidak pernah teratur. "Hampir setiap jam sekali," kata Ghofar kepada Julkifli Marbun dari Gatra. Perut sering mulas. Di saat yang sama, lubang anus terasa sakit seperti ditusuk-tusuk benda tajam.

Penderitaan arsitek kapal pada Divisi Engineering dan Penelitian, Direktorat Hilir Pertamina, ini makin lengkap ketika ia juga mengalami disfungsi seksual. Ketika berjalan, ia selalu sempoyongan. Maklum, saat ini kaki kirinya mulai mengecil, bahkan sering timbul bengkak-bengkak. Tak cuma itu. Ketika berjalan, rasa nyeri segera menyergap sendi-sendi kaki. Makanya, ia harus dibantu orang lain dan menggunakan tongkat.

Derita Ghofar ini bermula ketika ia berharap memperoleh kesembuhan saat berobat ke Rumah Sakit Pusat Pertamina, 11 Maret 2003. Ketika itu, tulang punggungnya disergap rasa nyeri. Ghofar ditangani oleh Dokter Norman Zainal, ahli bedah ortopedi di rumah sakit itu. Menurut Zainal, salah satu saraf pada tulang punggung Ghofar terjepit. Untuk itulah perlu dilakukan operasi HNP (herniasis nucleus pulpous) keesokan harinya.

Ghofar tidak menyangka, operasi inilah yang mengantarkan dirinya menjadi cacat seumur hidup seperti sekarang. Tanda-tanda adanya ketidakberesan dalam operasi ia rasakan beberapa saat setelah operasi usai. Tiba-tiba sekujur tubuhnya, dari pantat hingga ujung kaki, lumpuh. "Ujung kaki seperti dikasih beban sangat berat," kata Ghofar. Selain lumpuh, pada seluruh ujung kaki hingga perut timbul bercak-bercak darah di bawah kulit. Perutnya pun keram dan mengeras setiap lima jam.

Karena kondisi Ghofar makin parah, Dokter Norman Zainal segera melakukan CT-Scan, MRI (magnetic resonance imaging), dan X-Ray. Hasilnya, Ghofar harus dioperasi kedua kalinya. Karena di tulang punggungnya terjadi infeksi akibat darah yang tidak bersih pada operasi pertama. Masa menunggu operasi kedua, 24 Maret 2003, Ghofar mengaku begitu tersiksa. "Untuk berobat harus dipapah," kata istri Ghofar, Martini Budi Astuti.

Setelah dua bulan lebih dirawat, Ghofar diperbolehkan pulang. Tapi, lebih dari setahun operasi usai, penderitaan Ghofar yang bertumpuk-tumpuk itu tidak juga hilang. Karena penasaran, ia lantas berinisiatif konsultasi ke Dokter Rahim Purba, ahli bedah saraf di Rumah Sakit Pusat Pertamina di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Oleh Dokter Purba inilah Ghofar diberi surat rujukan untuk berkonsultasi kepada Profesor Dr. Padmo Santjojo, ahli bedah saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, guna mendapatkan pendapat kedua (second opinion), 26 Mei 2004.

Ia kaget bukan kepalang, ketika Profesor Padmo mengatakan bahwa bantalan pada salah satu ruas tulang punggungnya hilang. Sontak Ghofar lemas. Lebih-lebih setelah Profesor Padmo meminta Ghofar tidak dioperasi lagi. "Dari situ saya yakin, tidak ada harapan kesembuhan," kata Ghofar. Meskipun selama pengobatan Pertamina harus merogoh kocek lebih dari Rp 300 juta, ia --didampingi kuasa hukumnya, Hermansyah Dulaimi, SH-- melaporkan Dokter Norman Zainal ke polisi, pada 14 Juni. "Saya hanya ingin membersihkan institusi kedokteran dari citra buruk," kata Ghofar.

Ketika Deni M.B. dari Gatra menemui Norman Zainal, dokter ini mengaku belum bisa memberikan tanggapan. "Karena ini soal institusi," katanya. Demikian pula Rumah Sakit Pusat Pertamina. Menurut Kepala Humas Rumah Sakit Pusat Pertamina, Erlina P.M., pihaknya masih menunggu kebijakan dari Direktur, Dr. Sutji A. Mariono. "Kami belum bisa menanggapi," katanya. Namun, pihaknya aktif menampung informasi yang masuk.

Bagi Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Fachri Idris, dugaan malpraktek semacam ini hendaknya tidak dibawa ke pengadilan umum, tapi dibuka di pengadilan disiplin. Di pengadilan umum, hakim tak memahami kaidah teknis ilmu kedokteran. "Saksi ahli yang didatangkan cenderung menyalahkan dokter," kata Idris kepada Mochamad Ghufron dari Gatra. Masalahnya, pengadilan disiplin belum ada di sini.

http://gatra.icom/2004-07-02/majalah/artikel.php?pil=14&id=40737&crc=-238585650