Breaking News

Satu Abad Sutan Takdir Alisjahbana: Pahlawan Sastra Dari Madina

Minggu, 23 Maret 2008 00:01 WIB
Satu Abad Sutan Takdir Alisjahbana
WASPADA Online

Oleh Afrion

SERATUS tahun silam, lahir seorang anak dengan empat jari di tangan kirinya. Oleh sebab itu ia diberi nama Takdir. Anak-anak lain selalu mengejeknya, sehingga ia merasa malu dan selalu menyembunyikan tangannya itu di kantongnya atau ditutup dengan sapu tangan setiap hari Takdir selalu mendengar ejekan anak-anak lain sebayanya. Karena ejekan itu, Takdir harus bekerja dua kali lebih keras daripada anak-anak yang lain.

Demikian Tamalia Alisjahbana mengawali kisah hidup ayahnya Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pada Seminar International Seabad Sutan Takdir Alisjahbana, 11 Maret 2008 di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Seminar yang mengusung tema Menguak Pemikiran STA dalam Bidang Bahasa, Sastra, Budaya dan Filsafat, menghadirkan pemakalah Dr. Wahyu Wibowo (Universitas Nasional Jakarta), Prof. H. Ahmad Samin Siregar S.S, Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si ( Fakultas Sastra USU), Dr. Sakinah Abu Bakar dan Dr. Rahimah Hj. A. Hamid (Universiti Sains Malaysia, P. Pinang),

Takdir yang kemudian dikenal dengan nama Sutan Takdir Alisjahbana bukan saja seorang sastrawan besar Indonesia. Ia juga budayawan dan cendikiawan terkemuka, seorang ilmuwan dan filsuf sekaligus pembaharu linguistik - tata bahasa baru Indonesia. Hukum D-M (hukum Diterangkan dan Menerangkan) dalam buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936), STA berpendapat bahwa sebenarnya pemakaian kaidah kelompok kata dalam bahasa Indonesia haruslah bersusun kata yang penting lebih dahulu baru diikuti kata keterangan. Bentuk kata yang penting disebut dengan diterangkan (D) dan bentuk kata keterangan disebut menerangkan (M). Hukum D-M merupakan pengelompokan kata dalam bahasa Indonesia.

Perkembangan tata bahasa Indonesia sebagai lingua franca, sesungguhnya telah beratus tahun tumbuh dan berkembang di tengah penduduk Asia Selatan.Bersamaan dengan bangkitnya rasa nasionalisme pada awal abad ke 20, bahasa Indonesia kemudian dinyatakan sebagai bahasa persatuan. Namun oleh pakar bahasa yang berpedoman pada kemurnian bahasa Melayu Tinggi seperti H. Agus Salim, Sutan Moh Zain, dan S.M. Latif tentu saja tidak setuju. Pertentangan pendapat pun terjadi dan terus meluas dalam tulisan-tulisan di suratkabar.

Semangat pembaharu linguistik disebarluaskan melalui buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia jilid I dan II dan juga dalam karya sastra yang terbit di Majalah Pujangga Baru. Perjuangannya tidak hanya difokuskan pada masalah bahasa dan sastra, tetapi juga dikaitkan dengan konsep keberpihakan pada hak-hak publik sebagai bentuk tanggung jawab etis.

Majalah Pujangga Baru yang dibentuk STA bersama Armijn Pane dan Amir Hamzah, menjadi corong membangkitkan kesadaran baru terhadap pengembangan pemakaian tata bahasa Indonesia yang tercermin dalam karya-karya mereka. Juga dalam hal kontrol publik terhadap pemberitaan pers dan hak publik untuk tahu. mengenai tata bahasa Indonesia baru termasuk masalah sosial, politik, hukum, filsafat, ekonomi, dan kebudayaan.

Seorang pemikir yang berpendidikan Barat, STA kecewa dan gelisah merasakan krisis ilmu dan pengetahuan bangsanya, akan tetapi kemudian secara terus menerus menumbuhkan semangat baru yang pro Barat, yang dinamis demi terbentuknya kebudayaan persatuan Indonesia.

Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Sumatera Utara pada 11 Februari 1908. Sekolah dasar Belanda di HIS Bengkulu (1921), kemudian melanjutkan sekolah di Kweek Hoge School (Sekolah Guru Atas) di Bandung (1928), Kursus Hoofdacte (Kursus Kemahiran Bahasa) di Bandung (1933), Recht Hoge School di Jakarta (1942), dan Letterkundige Hoge School (Sekolah Kesusasteraan) di Jakarta (1942).

Pernah menjadi guru di HIS Palembang (1928-1939), kemunculannya di dunia sastra ditandai dengan terbitnya roman pertamanya berjudul Tak Putus Dirundung Malang (Balai Pustaka, 1929), kemudian romannya yang monumenal Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941), Grotta Azzura (1970), dan Kalah dan Menang (1981).

Karena vitalitasnya yang selalu menggelegak, tabah menghadapi tantangan dan kesulitan, sebaliknya menyambut rintangan itu dengan kegembiraan. Dalam hal ini iklim kebangkitan nasionalisme yang dipicu oleh penjajahan Belanda tidak membuat membuat seseorang dapat mencari benang merahnya, artinya persatuan bangsa pada waktu itu masih dianggap sebagai istilah yang dikotomis.

Dalam konteks ini STA mencoba merekatkan hal yang dikotomis itu melalui prinsip analitik-sistesis dengan cara mereguk roh dan ilmu Barat yang dinamis dengan membangun hipogramnya sendiri. Meski akhirnya mendapat tantangan dan kritikan dari Dr. Soetomo, Ki Hajar Dewantara, Dr. M. Amir, Tjindarbumi, Dr. Poerbatjaraka, dan Adinegoro.

Penentangan pemikiran STA yang menawarkan elemen-elemen pemikiran dan kedinamisan dunia Barat sebagai jalan menuju perubahan pendidikan, kebudayaan, dan masalah sosial politik yang mengarahkan kebudayaan baru bangsa Indonesia, juga ditentang oleh Sanusi Pane yang lebih meyakini pandangannya ke dunia Timur. Nilai-nilai tradisionalisme merupakan kepribadian bangsa, karena itu pengaruh kebudayaan luar (Barat) tidak sesuai dengan kepribadian bangsa karena mengandung hal-hal yang negatif, kata Sanusi Pane.

Pertentangan pemikiran dan pandangan STA dengan Sanusi Pane ini menimbulkan polemik, yang kemudian dibukukan oleh Achdiat K. Mihardja dalam bukunya berjudul Polemik Kebudayaan (Rosidi, 1969). STA berpendirian bahwa jika bangsa Indonesia ingin maju maka kebudayaan Indonesia harus dinamis, karena masyarakat dinamislah yang dapat bersaing di antara masyarakat dunia lainnya.

Sebaliknya Sanusi Pane lebih berkeinginan untuk menyeimbangkan kebudayaan Timur dan Barat dengan memilih yang terbaik untuk dijadikan dasar kebudayaan baru. Sementara Adinegoro (1998:98) menjelaskan kebudayaan bangsa Indonesia sesungguhnya mempunyai kultur yang tua dan mapan, namun menerima pengaruh dunia Barat yang positif merupakan unsur penunjang guna memberi daya baru pada kemapanan itu agar menjadi dinamis.

Pengaruh ilmu Barat yang dipahami STA menurut Michael Riffaterre (1980), merupakan penerusan tradisi dari konsep hipogramnya yang menjadi latar dan dasar pemikiran. Hipogram dimaknai sebagai suatu penyimpangan atau pemutarbalikan esensi, dari sesuatu yang selama ini menjadi kebiasaan. Dalam hubungan ini, hipogram yang dipahami sebagai bentuk pemikiran ini bisa jadi berupa mitos pengukuhan sikap dengan semangat analitik-sintesis.. Misalnya bisa terlihat pada roman Layar Terkembang (1936).

Semangat analitik-sintesis yang multiperan itu kemudian membangun keyakinan diri membentuk kebudayaan persatuan dengan perspektif historis. Sebagai sastrawan, budayawan, filsuf, pakar linguistik, dan tokoh pendidikan yang haus mencari ilmu pengetahuan ke Barat. Pencarian yang terus menerus bagaikan cahaya yang tiada pernah padam. Hal itu tercermin pula dalam novelnya Dian yang Tak Kunjung Padam.

Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang cendikiawan dan pemikir kebangsaan yang sangat konsisten dalam memajukan bangsa Indonesia. Sebagai pemikir kebangsaan yang gigih usahanya mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia melalui dunia pendidikan dan kebudayaan tidak pernah berhenti

Perubahan besar sedang dan akan terus berlangsung, perubahan yang membuat seluruh umat manusia bersatu dalam dunia yang kecil dan yang juga membuat seluruh kebudayaan manusia dalam posisi krisis akibat proses saling memengaruhi. Dari perubahan ini menurut STA, desain besar menganai kebudayaan yang seyogianya segera dipikirkan adalah bagaimana merumuskan bentuk kebudayaan yang sama sekali baru. Suatu kebudayaan yang merupakan penjelmaan dari proses sintesis kebudayaan-kebudayaan besar yang pernah ada (Wibowo, 1995).

Kata krisis merupakan kata kunci STA yang berkaitan dengan pandangan analitik-sistesis, sebagaimana pandangan Hegel tentang dialektika (1770-1831). Pendapat Hegel tentang roh Barat yang memunculkan semangat baru yang hanya berjalan dari Timur ke Barat. Demi kebebasan manusia roh Barat itu bukan sesuatu yang abstrak melainkan sesuatu yang konkrit yang menandai bangsa-bangsa (volksgeist).

Roh suatu bangsa tertentu, menurut Hegel menentukan panggilan dan nasib historisnya. Secara bergilir roh tersebut akan memasuki suatu bangsa tertentu dalam dunia kepemimpinan dan hegemoni kebangsaan. Selama suatu bangsa yang terpilih itu tetap setia pada hekikat dan panggilannya secara vital serta kreatif, maka ia akan sanggup merebut serta mempertahankan hegemoninya (Weij, 2000).

Hegel sendiri sebagaimana ditulis Wahyu Wibowo dalam makalahnya, memang tidak mau menjelaskan mengapa roh itu hanya mondar-mandir dari Timur ke Barat. Karena roh itu pada intinya adalah ide yang melewati alam, maka ia bebas bergentayangan kemana pun tanpa terpaku dari Timur ke Barat. Jika Hegel berbicara mengenai manusia, yang dimaksudnya adalah manusia sebagai bangsa.