Breaking News

Marsiurupan

Marsiurupan adalah istilah Batak untuk gotong royong. Sebagaimana budaya di Indonesia yang lebih bersifat kegotongroyongan, di daerah Batak juga terdapat budaya dan adat seperti itu.

Sekarang ini, istilah ini hanyalah semboyan dan simbol belaka. Dipastikan, budaya ini telah punah dari kehidupan bermasyarakat di Bonapasogit. Kehidupan yang semakin realistis dan kebutuhan pribadi yang semakin meningkat telah mengalahkan semangat kolektif untuk saling “marsiurupan”.

Namun, dulu saat di usia saya sekolah dasar di Pakkat, bonapasogitku, antara tahun 1983-1989, marsiurupan masih sangat kental di masyarakat. Apalagi saat itu posisi partai masih mendapat tempat di hati penduduk. Partai Golkar misalnya, sering sekali menjadi pionir dalam marsiurupan tersebut. Gotong royong pembangunan sekolah, jalan, pembersihan sampah sampai kepada saling membantu dalam memanen padi.

Saat bangunan SD saya hampir ambruk, waktu itu saya masih kelas tiga SD, kepala sekolah kami mencanangkan program marsiurupan yang harus diikuti oleh semua siswa. Ini dilakukan setelah dipastikan pihak pemerintah daerah, saat itu Tapanuli Utara, telah menyatakan ketidaksanggupannya untuk merehab bangunan sekolah.

Kami, diwajibkan untuk membawa kayu, yang nantinya dibuat sebagai pagar sekolah. Pada saat istirahat pertama dari dua kali “reses” sekolah, kami dibariskan lalu digilir ke sungai dengan ember masing-masing untuk mengangkut pasir.

Walau hal itu tampak berat, karena perjalanan yang menempuh jarak 3-5 kilometer, anak-anak tampak bahagia bermain air sambil mengangkut pasir demi pembangunan sekolah. Kegiatan ini untuk menambahi dan melengkapi kegiatan serupa yang selalu dilakukan saat inisiasi masuk sekolah.

Di sela-sela waktu kami belajar ilmu pengetahuan alam (IPA), kami juga dibimbing dan diarahkan untuk membuat taman sekolah lengkap dengan tatanan bunga yang bertuliskan SD Negeri I Pakkat, yang bila dilihat dari atas tampak sebagai tulisan yang terpampang di halaman sekolah.

Pengalaman menarik dalam marsiurupan ini, mengingatkan saya akan kejadian yang sering terjadi belakangan ini. Di mana banyak sekolah di Indonesia yang tidak terurus dan banyak yang rewot dan hampir ambruk.

Semua orang seakan berlomba untuk memeras pemerintah yang memang mempunyai dana yang tidak banyak untuk disalurkan ke pihak sekolah. Apakah dananya memang minim atau dananya memang ada tapi dikorup, saya tidak yakin pastinya.

Namun, menarik untuk dimengerti bahwa, marsiurupan tersebut memberi dampak luar biasa dalam pembangunan sosial di pedesaan. Dampak paling utama adalah, bahwa kenyaman belajar mengajar tidak terganggu dalam waktu yang lama. Kami tidak perlu menunggu beberapa bulan agar kami merasa nyaman bersekolah, menunggu sesuatu, baik itu berupa janji kosong maupun janji belaka, dari pemerintah yang sudah pasti tidak akan kunjung datang.

Dengan melakukan kegiatan marsiurupan beberapa minggu, sekolah yang ambruk dan atapnya yang bolong-bolong dapat diperbaiki dengan cepat.

Memang, ada juga oknum guru yang memanfaatkan kegiatan marsiurupan untuk kepentingan pribadi. Misalnya, kami pernah mengalami kehabisan kapur tulis ketika akan belajar. Guru kelas dan kepala sekolah berinisiatif untuk menganjurkan murid bergotong royong, patungan, membeli kapur tulis, penghapus dan taplak meja yang sudah sangat kusam.

Dengan senang hati dan perasaan bahagia karena ikut membangun sekolah, kami patungan untuk membelinya. Hanya saja, lama kelamaan kami heran juga, karena ternyata kegiatan yang seharusnya temporer tersebut diwajibkan menjadi permanen oleh guru bersangkutan.

Sehingga setiap hari, minggu dan bulan bahkan tahun kami harus patungan untuk membeli alat-alat mengajar, sesuatu yang emberatkan karena kami harus juga membayar iuran-iuran wajib lainnya yang memang wajib untuk dibayarkan.

Kami tidak percaya, masak dana untuk mengadaan kapur tulis dan bahan pengajaran lainnya bisa tidak turun bertahun-tahun dari dinas PDK?....Bahkan adik-adik saya, setamat saya SD, saya dengar juga diwajibkan untuk patungan. Alasannya ini sudah tradisi.

Di sini tampak, bahwa marsiurupan telah dibelokkan oleh guru-guru untuk menjustifikasi kegiatan “korupsi” yang mereka lakukan di sekolah. Mereka dengan tega dan tanpa perasaan mempermainkan keluguan dan kejujuran murid sekolah dasar dengan dalih marsiurupan untuk sesuatu yang dianggap masyarakat tidak terlalu urgent.

Akibat dari pembohongan yang menjijikkan ini adalah, bahwa para siswa-siswi berikutnya mulai mengalami degradasi keyakinan atas integritas guru-guru yang terlibat dalam kebijaksanaan ini. Marsiurupan yang dulunya dianggap mulia, berakhir tragis dengan anggapan bahwa marsiurupan merupakan alat guru, atau pihak yang berkuasa, untuk memeras dan meng-eksploitasi murid dan orang tua murid yang lugu dan jujur.

Satu lagi kejadian penting di masyaraat Batak Pakkat adalah marsiurupan sosial yang terdegradasi. Dulu, pada tahapan tahun yang sama di atas, pernah ada suatu keinginan dari masyarakat untuk melakukan pipanisasi air yang disedot dari empat mata air disekitar Pakkat lalu disalurkan ke rumah-rumah penduduk.

Ide ini muncul akibat bertambahnya penduduk dan mengharuskan setiap orang untuk antri berlama-lama di pancuran untuk mandi atau sekedar mengambil air. Beberapa desa dan kampung di luar Pakkat telah melakukan proyek ini dengan sukses. Marsiurupan di tempat tersebut, telah meringankan beban masyarakat untuk kebutuhan akan air.

Camat dengan perwakilannya lalu mengajak masyarakat untuk patungan. Namun setelah berembuk beberapa saat, diumukan bahwa besaran jumlah dana yang dikumpulkan tidak akan sama setiap keluarga. Tergantung kepada kemampuan masing-masing yang akan ditetapkan oleh muspida setempat.

Namun, dalam praktik, pengumpulan dana yang tidak transparan tersebut, telah berubah menjadi usaha pemerasan dari pihak muspida didukung oleh pemuda-pemuda parmitu setempat terhadap beberapa keluarga yang dianggap mampu untuk mendanai semua proyek tersebut.

Beberapa keluarga diharuskan untuk membayar Rp 3000 rupiah, bahkan tidak ditagih sama sekali. Sementara itu ada keluarga yang ditangih Rp. 500.000. Bahkan ada yang sampai ditagih dua kali sehingga totalnya menjadi Rp 3.000.000, sebuah jumlah yang besar di era 1980-an. Sampai titik ini semuanya masih berjalan lancar karena belum ada pernyataan ketidaksetujuan dari pihak-pihak yang dikorbankan. Hal ini menjadi tambah mulus, karena pihak pemerintah kecamatan tidak pernah mengumumkan jumlah uang yang terkumpul. Praktis masyarakat tidak mengetahui apakah uang Rp. 5.000.000 yang dibutuhkan sudah terkumpul atau tidak.

Pada saat pembangunan terjadi. Pipanisasi air ke penduduk akhirnya diurungkan. Alasannya, keterbatasan dana. Lalu pemerintah hanya akan membangun bak-bak kecil di setiap kawasan sehingga siapa saya orang yang membutuhkan air dapat mengambilnya dari bak tersebut.

Dalam praktekntya, cara ini ternyata tidak malah mempermudah masyarakat. Antrean panjang di pancuran malah berpindah menjadi antrean panjang di bak-bak. Karena tidak adanya peraturan antrian, sehingga siapa yang kuat dan ‘parbetengan’, hanya dia saja yang bisa mengambil air, karena yang lain akan mendapat perlakuan intimidasi dari mereka.

Beberapa keluarga yang membayar puluhan kali lipat dari mereka yang sering mendapat air, dan yang tidak ingin pertengkaran melakukan protes kepada pihak yang terkait. Tapi dasar pemerintah daerah yang picik, merasa bahwa merekalah yang paling berkuasa di kecamatan, mereka hanya memberi jawaban seadanya sambil menertawai orang yang melakukan protes tersebut.

Akhirnya, marsiurupan dengan air tersebut telah berubah menjadi upaya memperkaya pihak muspida kecamatan sementara airnya tidak dapat merata dibagi kepada masyarakat. Sebagian besar masyarakat yang takut dengan intimidasi pihak yang berkuasa resmi maupun yang berkuasa swasta, memilih untuk kembali ke pancuran mengambil air.

Masalah kemudian timbul, saat pihak muspida merasa sudah saatnya memberlakukan peraturan yang baru, dengan memungut iuran kepada masyarakat alasannya untuk biaya operasional bak dan pompa serta untuk membayar tagihan listrik dan biaya pemeliharaan. Dulu, tagihan listrik dimufakatkan akan diberi gratis oleh PLN yang berkordinasi dengan pihak kecamatan.

Penduduk yang membayar mahal tapi tidak pernah setetes pun mendapat air tersebut menolak untuk membayar iuran yang persentasinya juga puluhan kali lipat dari warga yang membayar hanya beberapa ratus rupiah saja. Alasan mereka, apa gunanya memberi iuran, padahal airnya yang kecil dan mampet-mampet tidak pernah mereka nikmati karena banyaknya orang yang tidak bertanggung jawab di bak yang siap melakukan intimidasi kapan saja.

Akibatnya, pompapun dimatikan, listrik diputus dan air kembali tidak mengalir. Uang yang jumlahnya 5 juta pada era 1980-an yang cukup besar tersebut, akhirnya hilang bersama keserakahan muspika kecamatan yang mengalami kebutaan mata hati.

Paska tahun-tahun reformasi, beberapa tenaga teknisi air dari Balige berdatangan ke Pakkat menawarkan kepada penduduk untuk membuat sumur bor dengan biaya kisaran 2-3 juta persumur. Penduduk berbondong-bondong untuk membuat sumur masing-masing di rumahnya. Sekarang ini, pengadaan air di Pakkat bahkan sudah melebihi kebutuhan keluarganya. Tinggallah mereka yang merasa tidak diuntungkan dengan kondisi ini gigit jari tak berguna. Semuanya dilakukan tanpa melibatkan pihak muspika. Masyarakat sudah trauma.

Marsiurupan yang membawa manfaat ternyata bisa juga menjadi petaka dan mara bahaya bila diselewengkan untuk kepentingan orang yang tidak bertanggung jawab.

Ada lagi peristiwa yang mengenaskan. Hanya saja saya tidak mengalami langsung masalah ini. Pernah suatu ketika, seorang insinyur kelahiran bonapasogit kembali ke Pakkat untuk mengabdikan ilmunya. Beberapa teori dan rumusan yang dibuatnya sedemikian brilyan sehingga dia digelari insinyur gila.

Menurutnya, dengan biaya yang tidak banyak, dia dapat mengalirkan air dari beberapa sumber air di pegunungan untuk dialirkan ke pusat kota. Semuanya berlaku otomatis dan tidak perlu biaya pompa listrik dan pemeliharaan.

Dia berusaha membuktikannya di sebuah desa kecil, di luar Pakkat yang ternyata berhasil gilang-gemilang. Pihak muspida kecamatan akhirnya memutuskan untuk membuat proposal dana ke pihak kabupaten untuk mendanai proyek tersebut. Namun gagal, katanya pihak kabupaten tidak mempunyai dana.

Setelah berjuang bertahun-tahun lamanya, akhirnya pihak provinsi setuju untuk mengucurkan dana sebesar, katanya, 200-an juta. Untuk proyek pengadaan air gratis di Pakkat. Masyarakatpun bersorak gembira dalam hati.

Namun, setelah penungguan bertahun-tahun paska pengucuran dana, tidak sedikitpun ada tanda-tanda dimulainya proyek prestisius tersebut. Masyarakat mulai bertanya-tanya dengan keberhasilan rumusan dan teori tersebut. Beberapa utusan kemudian berinisiatif untuk bertanya kepada “insinyur gila” tersebut.

Tapi akhirnya mereka semua terkejut, karena ternyata dana tidak mencukupi. Menurutnya, dana 200 juta yang dikucurkan oleh pemerintah provinsi tersebut telah dipotong oleh pihak kabupaten, kemudian dipotong lagi oleh pihak yang mengantar uang tersebut ke kecamatan, lalu dipotong lagi oleh beberapa oknum di kecamatan dan setelah itu, diberikan kepada kepala desa untuk kemudian dipotong lagi.

Oleh kepala desa, dana tersebut, yang sudah sisa-sisanya saja, diserahkan kepada insiyur gila tersebut untuk ditandatangani. Tentu sang insinyur menolak menandatangani jumlah uang yang tidak sesuai dengan jumlah sebenarnya yang hanya tinggal beberapa juta saja. Akhirnya proyek ini hanya tinggal mimpi saja, sementara uangnya sudah habis entah kemana. Kejadian ini berlangsung sebelum era reformasi. Apakah penyelewengan ini masih berlaku sampai sekarang??? Who Knows....