Breaking News

Taringot Tu Norma Batak

Songon siala na sampagul, rap tu ginjang rap tu toru. Muda malamun saulak lalu, muda magulang rap margulu. Sahata saoloan, na sapangambe sapanaili. Satahi dohot dongan, maroban sonang pangarohai. Muda sabara asa sabustak, asa salumpat saindege boti sapangambe sapanili. Hasonangan na so unjung mantak, bo baritana sai tarbege. Muda manyuruk rap unduk, muda mangambur rap gas. Lambok bulung ni eme, na lambok marluyun-luyun. Lambok lidung binege, i ma dalan marhalalungun. Tando batu ni pangkat, lomlom gorsing songon simbora.

Tandona hita na sapokat, bulung botik mardai mera. Holong do mangalap holong. Antusanna, muda holong rohaniba di dongan, tauken holong ma roha ni dongan di iba. Hara ni i inda tola iba mantak patidahon holong ni roha i tu dongan, anso di hatihana muse manjagit iba hadengganan sian dongan. Muda pahae simanggurak, pahulu sitimpulon, antusanna muda nibaen na denggan tu dongan, laing na denggan ma jagiton balosna. Mata guru roha sisean. Umpama on nidok ma i tu halak anso sai ra ia maniru na denggan di pangalaho na niidana sian dongan. Muda jongjong di na tigor batu mamak di andora. Pantun hangoluan, teas hamatean. Patar songon indahan di balanga. Rukrek parau mambaen tu rapotna. Sada do martoktok hite, sude markitehonsa. Sada huat tu jolo, dua huat tu pudi. Sadao-dao ni obok-obok ujungna laing madabu tu tano. Talu do gogo dibaen bisuk. Tubu dingin-dingin, di toru ni andomang. Horas tondi madingin, sian menek lopus magodang.

Katalog Dalam Terbitan (Perpustakaan Nasional RI)
Harahap, Basyral Hamidy, 1940-
Siala Sampagul : nilai-nilai luhur budaya masyarakat Kota Padangsidimpuan / oleh Basyral Hamidy Harahap. – Cet.1. -- Padangsidimpuan : Pemerintah Kota Padangsidimpuan, 2004. xvi, 203 hal. : ilus. ; 21 cm.Bibliografi: hlm 200-202. Biodata: hlm. 203. ISBN 979-98049-1-4. 1. Kebudayaan – Padangsidimpuan.I. Judul. DDC: 306.Pengarang: Basyral Hamidy Harahap. Perwajahan : Ir. Arip Ihsan Harahap, IAI. Cetakan pertama Desember 2004. Pencetak: PUSTAKA, Bandung. Gambar Kulit: Siala. Foto: Basyral Hamidy Harahap.



PENGANTAR
Dasar pemikiran awal dari penelitian saya tentang nilai-nilai budaya antara lain adalah Firman Allah SWT di dalam Surat Al-Hujurat, ayat 13 (QS:49:13) yang artinya sebagai berikut:

Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.
Berangkat dari dasar pemikiran ini, saya beranggapan bahwa untuk mengenal lebih dekat suku-suku itu adalah dengan memahami alam pikiran dan filosofi hidupnya. Saya berpendapat bahwa ungkapan tradisional adalah merupakan rekaman alam pikiran dan filosofi hidup sejak awal terbentuknya suatu suku bangsa.

Sudah menjadi hukum alam, bahwa kebudayaan dapat berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Dalam hubungan dengan nilai-nilai luhur budaya Angkola-Mandailing, inti dasar nilai-nilai budaya tetap berlaku sejak zaman dahulu sampai sekarang. Yang berubah adalah redaksi dan kata-kata kunci baru sebagai upaya pemberian makna pada nilai-nilai baru yang memasuki kehidupan mereka.

Pemilihan judul buku ini Siala Sampagul: Nilai-Nilai Luhur Budaya Masyarakat Kota Padangsidimpuan didasarkan pada makna dan filosofi hidup yang terkandung di dalam ungkapan Songon siala na sampagul, rap tu ginjang rap tu toru. Muda malamun saulak lalu, muda magulang rap margulu. Ungkapan ini sangat populer dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat Kota Padangsidimpuan. Itulah sebabnya mengapa saya memberi judul buku ini Siala Sampagul.

Saya memandang perlu memberikan penjelasan tentang siala berdasarkan hasil-hasil penelitian lapangan di berbagai daerah oleh para ahli botani. Hal ini berguna bagi pembaca untuk memperluas wawasan tentang siala. Selain itu diuraikan pula tentang siala sebagai lambang persatuan, kesetiaan, kebersamaan, kasih sayang, tenggang rasa dan lain-lain.

Ada sembilan nilai budaya utama masyarakat Angkola-Mandailing. Saya menemukan nilai-nilai budaya utama itu dalam penelitian dan pengamatan sosial budaya selama tidak kurang dari 10 tahun dengan merujuk analisis 300 ungkapan tradisional Angkola-Mandailing. Ungkapan tradisional tersebut merupakan hasil saringan dari kurang lebih 1.000 ungkapan tradisional Angkola-Mandailing. Pemilihan itu berdasarkan anggapan bahwa 300 ungkapan tradisional itu dapat mewakili berbagai aspek, termasuk aspek waktu dan perubahan zaman.

Dalihan Na Tolu merupakan bagian penting dalam ciri kebudayaan daerah ini. Oleh karena itu setiap orang yang terikat dalam sistem kekerabatan ini seharusnya mengetahui seluk beluk Dalihan Na Tolu. Sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu sebagai suatu institusi sosio-kultural masyarakat Angkola-Mandailing diuraikan secara ringkas di dalam buku ini.

Partuturon merupakan salah satu inti buku ini. Tutur bukanlah sekedar istilah kekerabatan. Tutur memiliki nilai-nilai luhur adab pergaulan orang per orang, kelompok per kelompok dalam masyarakat. Menurut pengamatan saya, pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an telah terjadi perubahan drastis dalam partuturon. Generasi muda sangat malas martarombo, sehingga mereka dengan mudah menerjemahkan kata oom dalam bahasa Belanda menjadi uda. Padahal orang yang disapa uda itu barangkali adalah tulang, amang boru, amang uda, amang tua, apak ketek atau apak tuo.

Keengganan martarombo ini telah berdampak pada menurunnya kesopan-santunan, dan menurunkan kadar rasa malu. Oleh karena itu, partuturon yang banyak itu seharusnya kembali diajarkan kepada generasi muda, agar mereka dapat menjaga kelestarian nilai-nilai luhur budaya daerah ini.

Tano Hasorangan menekankan betapa keterkaitan dengan tano hasorangan harus tetap dipelihara, bahkan diperkuat. Tano hasorangan diberi makna lebih luas daripada sekedar tanah kelahiran. Dalam hal ini tano hasorangan juga berarti tanah asal, bahkan tanah asal usul leluhur. Kerabat yang berdiam di tano hasorangan perlu ditingkatkan kesejahteraan lahir batinnya oleh semua yang ada hubungannya dengan tano hasorangan itu.

Orang Angkola-Mandailing adalah salah satu suku bangsa yang sangat gemar memberi nasihat, marsipaingot, mangalehen poda. Poda yang banyak ditemukan dalam ungkapan tradisional berisi habisukon, kearifan. Bab tentang poda sengaja ditulis dalam bahasa daerah untuk memberi warna lokal pada buku ini. Selain itu bab ini berguna sebagai bahan dalam marsipaingot.

Uraian singkat tentang Pemerintah Kota Padangsidimpuan berisi keterangan tentang nama-nama desa dan kelurahan di setiap kecamatan. Bab ini ditambah dengan beberapa data statistik pendidikan sebagai gambaran tentang hasil berbagai upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Kota Padangsidimpuan.

Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk karya sastra klasik daerah ini yang ditulis oleh Sati Nasution gelar Sutan Iskandar yang lebih terkenal dengan nama Willem Iskander (1840-1876). Uraian singkat tentang riwayat hidup dan karya Willem Iskander yang dicatat di dalam bab ini adalah cuplikan dari hasil-hasil penelitian saya di Negeri Belanda pada tahun 1975, 1981, 1985 dan 1989. Sekedar mengingatkan karya-karya Willem Iskander, ada empat sajak karyanya dimuat di dalam bab ini, ialah Sikola, Ajar Ni Amangna di Anakna Na Kehe tu Sikola, Di Danak na Mompas Godang, dan Ama Ni Marpuli Odong. Ke-empat sajak itu dilengkapi dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Lagak Ragam Bahasa Daerah berisi lima bagian, ialah: Aksara, Huling-kulingan, Torkan-torkanan, Umpama, dan Ende. Bagian Ende seluruhnya berbahasa daerah yang berisi nama-nama desa dan kelurahan di Pemerintah Kota Padangsidimpuan. Ini merupakan penjelajahan dari desa ke desa, dari kelurahan ke kelurahan dengan gaya marende.
Ombas, tentang nama-nama waktu dalam bahasa daerah terdiri dari nama tiap jam dalam waktu 24 jam, 30 nama hari dalam sebulan dan 12 nama bulan dalam setahun. Nama waktu yang cukup rinci itu menunjukkan betapa orang Angkola-Mandailing merasa sangat dekat dan menyadari perjalanan waktu dalam kehidupannya. Bab ini pun sengaja di tulis dalam bahasa daerah.

Ungkapan tradisional yang dimuat dibuku ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ini mungkin dapat dijadikan sebagai latihan kemahiran berbahasa daerah pada murid kelas V dan VI Sekolah Dasar atau kelas I dan II Sekolah Menengah Pertama. Para murid dan siswa diberi pekerjaan rumah untuk menerjemahkan ungkapan tradisional itu ke dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian pemahaman dan apresiasi bahasa dan sastra daerah ini dapat terus ditumbuhkan.

Bahasa daerah adalah kekayaan budaya yang sangat berharga. Butir 3 teks asli Sumpah Pemuda yang dibacakan pada taggal 28 Mei 1928 berbunyi:

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA.
Arti yang terkandung dalam Sumpah Pemuda itu adalah bahwa bahasa daerah merupakan kekayaan budaya yang harus tetap dilestarikan dan dikembangkan. Sedangkan Bahasa Indonesia dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan. Jadi adalah salah apa yang selama ini kita dengar dibacakan orang bahwa Indonesia berbahasa satu, yaitu Bahasa Indonesia.

Hal ini perlu saya tekankan, karena menurut pengamatan saya ada kecenderungan masyarakat Kota Padangsidimpuan berbahasa Indonesia kepada anak-anaknya sejak anak-anaknya mulai berbicara. Ada segi negatif dari sikap ini, ialah anak-anak Kota Padangsidimpuan kelak tidak lagi menguasai bahasa daerah sebagai bahasa ibunya. Hal itu menjadi lebih parah jika orang yang berasal dari daerah ini merantau. Keluarga perantau itu menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, sehingga kearifan-kearifan yang terkandung di dalam bahasa daerah menjadi hilang.

Salah satu hal yang menarik dari cara berbahasa ini adalah munculnya kata-kata dalam bahasa daerah yang diindonesiakan sesukanya, sekalipun kita paham apa yang dimaksudkan. Sebagai contoh:
Patidahon menjadi petidakan
Lehen bo menjadi kasikan bo.
Jangan dabo songon i
Jangan main di jalan nanti ditondong motor
Adope mandi kau dll.

Hal ini merupakan tindakan pendangkalan nilai-nilai luhur budaya masyarakat Kota Padangsidimpuan. Jika hal ini tidak dicegah, maka generasi yang akan datang akan kehilangan akar budayanya sendiri. Orang yang tercabut dari akar budaya akan mudah mengalami guncangan kepribadian.

Pendirian yang mengatakan bahwa tujuan mengajarkan bahasa Indonesia sehari-hari kepada anak-anak sejak kecil, agar kelak mereka mudah berkomunikasi dengan orang dari etnis yang lain. Pandangan ini keliru. Sebab anak-anak sudah mulai belajar bahasa Indonesia di Sekolah Dasar.

Tidaklah berlebihan jika saya menegaskan di sini satu contoh, bahwa empat anak-anak saya lahir dan besar di Jakarta. Kemudian setelah dewasa mereka tinggal jauh dari wilayah budaya Angkola-Mandailing, di Bandung, Pontianak, Jakarta dan Tokyo. Tetapi karena mereka diajari berbahasa daerah sejak usia balita, mereka yang kini berusia 36, 34, 33 dan 30, semua tetap mampu berbahasa daerah.

Sekarang mereka merasa memiliki kekayaan budaya yang sangat berharga dengan mampu berbahasa daerah di samping bahasa Indonesia, bahasa daerah lain seperti bahasa Sunda dan bahasa-bahasa asing yang mereka kuasai seperti bahasa Inggris, Jerman dan Jepang. Kita semua dapat melakukan itu jika kita menguasai dan menghargai tinggi budaya daerah kita, termasuk bahasa dan sastra daerah.

Semoga buku kecil ini memberikan dorongan kepada para penulis dan peneliti lainnya untuk menulis lebih banyak tentang kehidupan masyarakat Kota Padangsidimpuan.
Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan setulus-tulusnya kepada Bapak Drs. Zulkarnain Nasution, Walikota Padangsidimpuan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menulis buku-buku tentang Pemerintah Kota Padangsidimpuan.
Terima kasih kepada isteri saya Hj. Aisyah Siregar yang tekun membaca naskah buku ini dan memberikan saran-saran, sehingga buku ini layak dibaca.

Tokyo, 15 Oktober 2004
Basyral Hamidy Harahap


DAFTAR ISI: Kata Sambutan Walikota Padangsidimpuan, Drs. Zulkarnain Nasution --- v. Kata Sambutan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota Padangsidimpuan, H. Bulkainy Nasution, MBA --- vii. PENGANTAR --- ix. BAB I: PEMERINTAH KOTA PADANGSIDIMPUAN --- 1. Kecamatan --- 1. Kota Pendidikan --- 4. Kota Salak --- 5. BAB II: SIALA SAMPAGUL --- 8. Tentang Siala --- 8.Lambang Persatuan --- 18. BAB III: NILAI BUDAYA --- 21. Pengantar --- 21. Dalihan Na Tolu --- 22. Nilai Budaya ---28. 1.Kekerabatan --- 34. 2.Religi --- 39. 3.Hagabeon --- 45. 4.Hamajuon ---48. .Hasangapon --- 53. 6.Hamoraon --- 55. 7.Hukum --- 57. 8.Pengayoman --- 61. 9.Konflik --- 66. HALAMAN FOTO --- 73-88. BAB IV: PARTUTURON --- 89. BAB V: TANO HASORANGAN --- 125. BAB VI: PODA --- 130. Marsipoda --- 138. BAB VII: OMBAS --- 154. BAB VIII: SI BULUS-BULUS SI RUMBUK-RUMBUK --- 164. Willem Iskander (1840-1876) --- 164. Sikola --- 167. Ajar ni Amangna di Anakna na Kehe tu Sikola --- 169. Di Danak na Mompas Godang --- 172. Ama Ni Marpuli Odong --- 174. BAB IX: LAGAK RAGAM BAHASA --- 177. Aksara --- 177. Huling-kulingan --- 181. Torkan-torkanan --- 186. Umpama --- 188. Ende --- 193. KEPUSTAKAAN --- 200. BIODATA PENULIS --- 203.
Selanjutnya: http://www.basyral-hamidy-harahap.com/blog/index.php?itemid=12