Breaking News

Warga Prancis Didakwa Atas Penembakan di Masjid Bayonne

ilustrasi
KEDAIKOPIMARBUN -- Pihak berwajib kota Bayonne, sebuah kota yang terletak di barat daya Prancis, mendakwa seorang pria berusia 84 tahun dengan tuduhan percobaan pembunuhan, pembakaran, dan penggunaan senjata api pada Rabu (30/10) waktu setempat. Dakwaan tersebut berawal dari insiden hari Senin (28/10), di mana seorang pria berusaha membakar sebuah masjid setempat, lalu menembak dua orang pria lanjut usia berusia 74 tahun dan 78 tahun yang datang untuk menyelidiki tempat kejadian perkara. Kedua korban saat ini dirawat di rumah sakit setempat dan diketahui dalam kondisi stabil. (baca)

Pelaku, yang juga merupakan calon anggota dewan daerah dari partai nasional sayap kanan di tahun 2015 yang sekarang dikenal dengan National Rally, dikenal sangat vokal menyuarakan aspirasinya oleh penduduk setempat. Pria tersebut lantas mengakui perbuatannya, mengatakan bahwa itu merupakan aksi balasan atas kejadian kebakaran gereja katedral Notre Dame di Paris pada bulan April lalu, terang penyelidik. Meskipun pihak berwajib telah mengatakan bahwa kebakaran tersebut merupakan murni kecelakaan, beberapa pihak, termasuk si pelaku, percaya terhadap teori konspirasi yang menyebut umat Muslim yang melakukannya.

Tidak akan mentolerir kebencian

Sebelumnya pada Senin (29/10), Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam cuitannya di Twitter mengecam tindakan tersebut dan menyebutnya kejahatan yang keji. Macron menulis: "Negara tidak akan pernah mentolerir kebencian. Segala cara akan ditempuh untuk menghukum para pelaku dan melindungi teman-teman Muslim kita. Saya telah berkomitmen untuk itu." Macron juga mengajak umat Islam untuk lebih proaktif dalam perang melawan apa yang disebutnya "separatisme" islam.

Hukuman seumur hidup

Jika terbukti bersalah, pelaku yang mengaku tidak memiliki maksud untuk membunuh tersebut, dapat menghabiskan sisa hidupnya dari balik jeruji besi. Namun, pertama-tama ia harus menjalani pemeriksaan psikologis untuk menentukan apakah ia sadar akan apa yang dilakukannya.

Jaksa penuntut kota Byonne, Marc Mariee mengatakan Paris tidak akan mengambil alih penyelidikan, mengisyaratkan bahwa kejadian tersebut tidak dianggap sebagai serangan teroris. Berbicara tentang pemeriksaan psikologis, Marie mengatakan dalam laporan awal diketahui si pelaku mengalami gangguan atas penilaian dan/atau kontrol atas tindakannya. Hal tersebut tidak akan menghentikan persidangan namun kemungkinan ia akan mendapatkan keringanan hukuman.

Kondisi memanas

Peristiwa tersebut terjadi saat Prancis terus berjuang menghadapi kohesi sosial dan ketidakpercayaan masyarakat muslim. Setelah penyerangan yang terjadi pada awal Oktober oleh seorang polisi yang terindikasi terpapar paham radikal, menikam empat rekannya hingga tewas di Paris, tuntutan agar Macron melawan Islam radikal di negara itu semakin kuat.

Pada Selasa (29/10), oposisi senat Prancis menyetujui rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota National Rally yang melarang orang tua memakai simbol agama yang terlihat ketika menemani anak-anak dalam studi banding. RUU itu digagas oleh seorang politisi National Rally yang baru-baru ini menuntut seorang perempuan yang tengah menemani anak laki-lakinya dan beberapa anak kecil lain dalam sebuah perjalanan studi banding untuk melepas jilbabnya, dan menyebutnya sebagai provokasi islam.

RUU itu kini tengah dikaji oleh dewan majelis nasional, yang kemungkinan besar tidak akan disahkan mengingat fakta bahwa partai Macron merupakan mayoritas.

Menanggapi RUU tersebut, dewan muslim Perancis memperingatkan bahwa islamofobia yang agresif bahkan bersifat kriminal telah mengakar di negara tersebut.